REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Silsilah pemahaman hadits memang bermula saat Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Musykilat hadits pada masa tersebut relatif belum kompleks, mengingat cakupannya hanya seputar pemahaman saja, jarang terjadi problem seputar validitas ataupun redaksi.
Najih Arramadloni dalam buku Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah menjelaskan bahwa di masa Nabi apabila ada sahabat yang ingin mendapatkan pemahaman yang benar tentang sebuah hadits , mereka bisa langsung meminta penjelasannya dari Nabi.
Mereka pun dapat memperoleh pemahaman hadits dari majelis formal maupun non-formal sebagaimana yang pernah terjadi pada Uqbah bin Harits yang menanyakan langsung kepada Nabi perihal hukum menikahi saudara sepersusuan yang tidak dia ketahui sebelumnya.
Sedangkan apabila ada sahabat yang tidak dapat menemui Nabi secara langsung, mereka dapat menanyakannya pada sahabat yang lain. Hal ini sebagaimana kisah Sayyidina Umar bin Khattab dan seorang tetangganya yang secara bergantian mengikuti majelis Nabi untuk menerima penjelasan langsung dari sang kekasih Allah itu.
Meski demikian, Nabi tidak menutup adanya peluang kemungkinan ragam pendapat atas hadits yang beliau sampaikan. Terbukti, para sahabat sempat tidak sejalan dalam memahami hadits berikut, “Janganlah kalian sholat Ashar kecuali telah sampai di daerah Bani Quraidzah.”
Para sahabat saling berbeda pendapat, sebagian memahami bahwa secara substansial hadits tersebut merupakan perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di tempat tujuan pada waktu Ashar.
Sehingga jika waktu Ashar sudah tiba namun mereka belum sampai di tempat tujuan, maka boleh sholat Ashar di mana saja dan tidak harus menundanya sampai di perkampungan Bani Quraidzah.