REPUBLIKA.CO.ID,
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum w. w.
Saya Rizal dari ranting Jati Kudus Jawa Tengah. Saya ingin bertanya, teman saya menikah resmi di KUA dalam keadaan istri sudah hamil dua bulan. Setelah anaknya lahir, pihak keluarga teman saya menyarankan untuk melaksanakan nikah lagi secara agama tetapi ada salah satu anggota keluarga yang menilai itu tidak perlu dilakukan karena pernikahan yang dulu sudah sah secara agama. Teman saya bingung dan meminta pendapat kepada saya, tetapi saya juga kurang menguasai masalah tersebut. Mohon jawaban serta petunjuknya.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum w. w.
Jawaban:
Wa’alaikumus-salam wr wb.
Saudara Rizal yang kami hormati, pertanyaan senada dengan yang saudara sampaikan telah diterangkan sebelumnya antara lain dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 dan pada rubrik fatwa agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 1 tahun 2006. Berikut ini akan kami jelaskan kembali secara singkat.
Pada ayat 24 surat an-Nisa’, – setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu ayat 22, 23, dan 24, – Allah Swt menegaskan bahwa dibolehkan seorang laki-laki mengawini perempuan-perempuan lain selain yang telah disebutkan. Allah Swt berfirman:
… وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ … [النسآء: (4): 24].
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” [QS. an-Nisa’ (4): 24].
Pada ayat-ayat yang lain disebutkan perempuan-perempuan lain selain yang tersebut pada ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu perempuan musyrik [QS. al-Baqarah (2): 221], perempuan dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haid [Q.S. al-Baqarah (2): 228], perempuan yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya, ia haram dikawini bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya [Q.S. al-Baqarah (2): 230], perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia [Q.S. al-Baqarah (2): 235], perempuan yang tidak mempunyai masa haid lagi dan perempuan dalam masa iddah karena hamil [Q.S. ath-Thalaq (65): 4], mengawini wanita sebagai istri kelima [Q.S. an-Nisa’ (4): 3], dan perempuan musyrik [Q.S. an-Nur (24): 3]. Hadis menyatakan bahwa dilarang seorang laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya atau seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.
Ayat-ayat dan hadis di atas merupakan tambahan (ziyadah) terhadap perempuan-perempuan yang haram dikawini yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat an-Nisa’. Ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut dibolehkan. Pada ayat-ayat dan hadis tersebut tidak terdapat perempuan hamil yang tidak mempunyai suami. Karena itu boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Oleh karena itu, tidak perlu adanya pengulangan nikah bagi perempuan yang menikah dalam keadaan hamil.
Demikian jawaban dari kami, terima kasih atas perhatiannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tulisan ini pernah dimuat di Suara Muhamadiyah No. 03 tahun 2014