REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namun, beberapa wanita yang hadir memberi saran, "Coba lihatlah olehmu, apakah bayi ini mau mengisap air susunya atau tidak?" Akhirnya, Musa diangkat ke pangkuannya dan disodori air susunya. Tak disangka, sang bayi pun mengisap air susunya hingga kenyang.
Asiah kemudian mengabari suaminya. Fir'aun pun geram, "Bayi itu berasal dari kaum Bani Israil, begitu pula perempuan yang menyusuinya juga berasal dari Bani Israil. Selamanya ini tidak boleh terjadi. Kita tidak boleh menyatukan keduanya." Namun, Asiah terus berusaha melembutkan suaminya, sampai akhirnya Fir'aun tenang dan mengurungkan niatnya untuk memisahkan Musa.
Begitu meletakkan putranya dalam pangkuan, ibunda Musa senang bukan kepalang. Ia berkata, "Aku tebus engkau, hai Musa."
Mendengar demikian, amarah Fir'aun pun kembali terpancing. Pada saat yang sama, Allah mengirim utusan agar ibunda Musa bertanya, "Sampaikanlah kepadaku, apakah benar kalian mengangkat bayi ini dari air sungai Nil? Tadi aku memanggilnya 'Musya" (sebagaimana ejaan bahasa Ibrani).
Fir'aun menjawab, "Benar sekali, aku telah mengangkatnya dari air sungai Nil. Kami telah menamainya Musya." Sejak itu, ibunda Musa tinggal di rumah Fir'aun, seraya menyembunyikan keimanannya bersama dengan saudari perempuannya dan dukun bayinya. Bahkan, hingga meninggal dukun bayi tersebut, tak seorang pun kaum Bani Israil yang mengetahui keimanan mereka.
Baca Juga: Pengasuh Nabi Musa: Asiah binti Muzahim (5-Habis)