Bertemu dengan peluru
Alaa, putri sulung Imad, mengaku bercita-cita menjadi petugas ambulans agar bisa mencegah kematian orang, seperti kematian ayahnya. “Setiap hari, saya berpikir bertanya kepada ibu saya kapan ayah kami akan pulang kerja, tetapi kemudian saya ingat bahwa dia sudah meninggal dan dia tidak akan pernah kembali,” kata Alaa kepada Middle East Eye (MEE).
“Itu sangat sulit. Aku merindukannya setiap hari,” tambahnya.
Seperti kebanyakan pemuda di Beita, Imad pergi ke Jabal Sbeih setiap Jumat untuk berpartisipasi dalam kegiatan rakyat yang damai mempertahankan tanah mereka dari pengambilalihan oleh pemukim. 'Kemanapun saya melihat, saya melihat Imad. Saya tidak bisa berhenti menunggu dia kembali, meskipun saya mengucapkan selamat tinggal padanya dan saya tahu bahwa dia sudah meninggal,” kata saudaranya Bilal.
Imad terkena peluru langsung ke dada, dan dia langsung meninggal. “Imad berpartisipasi, seperti orang lain, dalam kegiatan damai dan bukan dalam perang. Tidak ada pembenaran bagi penembak jitu Israel untuk menembakkan peluru tajam,” tambahnya.
Baca juga : Margarito Sebut Lili Pintauli tak Bisa Dilaporkan Polisi
Sejak pembunuhannya, ibu Imad, Fathiya (77 tahun), tidak bisa lagi tidur sepanjang malam. Terkadang dia berhasil tidur beberapa jam, sebelum bangun dan duduk di pintu depan menunggu Imad yang tidak mungkin kembali.
"Kemanapun saya melihat, saya melihat Imad. Saya tidak bisa berhenti menunggu dia kembali, meskipun saya mengucapkan selamat tinggal padanya dan saya tahu dia sudah mati. Kami hidup dalam penderitaan yang berlangsung selamanya,” katanya kepada MEE, sambil menggendong putra Imad yang berusia tiga bulan.