Sabtu 21 Aug 2021 10:24 WIB

Penurunan Harga PCR Dukung Pemulihan Ekonomi Nasional

Data tunjukkan, pengujian seperti PCR masih lemah di Indonesia.

Spanduk bertuliskan harga tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) terpasang di sebuah lokasi penyedia layanan tes COVID-19 di Jakarta, Ahad (15/8/2021). Presiden Joko Widodo meminta harga tes usap PCR untuk COVID-19 di Indonesia diturunkan di sekitaran harga Rp450 ribu-Rp550 ribu dan hasilnya dapat diketahui maksimal 1 x 24 jam.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Spanduk bertuliskan harga tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) terpasang di sebuah lokasi penyedia layanan tes COVID-19 di Jakarta, Ahad (15/8/2021). Presiden Joko Widodo meminta harga tes usap PCR untuk COVID-19 di Indonesia diturunkan di sekitaran harga Rp450 ribu-Rp550 ribu dan hasilnya dapat diketahui maksimal 1 x 24 jam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai, penurunan harga tes PCRakan membantu upaya pemulihan ekonomi nasional. Tes PCR yang makin menjangkau akan mendukung pengendalian pandemi Covid-19 melalui aktivitas testing dan tracing.

"Testing dan tracing hanya satu komponen kecil dalam usaha pengendalian pandemi yang kompleks. Jadi, semakin terjangkaunya harga PCR itu hal yang baik," katanya, dalam siaran pers, Sabtu (21/8).

Andree mengingatkan, langkah pemulihan ekonomi akan bergantung dari sinergi semua komponen seperti perubahan perilaku masyarakat dan kesuksesan program vaksinasi. Ia berpendapat bahwa data terakhir dari Kementerian Keuangan memperlihatkan masih lemahnya pengujian dan pelacakan.

Hal tersebut, lanjutnya, karena dari total anggaran penanganan Covid-19 2021 sebesar Rp 185,98 triliun, hanya Rp 4,08 triliun yang digunakan untuk diagnostik (testing dan tracing). "Jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi vaksinasi sebesar Rp 58 triliun dan Rp 59,1 triliun untuk pengobatan," ujarnya.

Andree mengemukakan bahwa permintaan untuk tes PCR kini sudah pasti tinggi. Sehingga cara untuk menekan harga adalah dengan memastikan berlimpahnya pasokan, serta karena Indonesia tidak memproduksi PCR dan sepenuhnya bergantung pada impor, maka perlu ditinjau apakah kondisi bottleneck ini terjadi karena jumlah importir yang terlalu sedikit.

Selain itu, ujar dia, kebijakan mematok harga hanya akan efektif kalau pasokan berlimpah dan semua komponen biaya diketahui oleh pemerintah. "Jika harga patokan terlalu tinggi, tentu ada membatasi jumlah konsumen, tetapi kalau terlalu rendah, supplier bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan terbentuknya pasar gelap," paparnya.

Ia juga menyebut bahwa solusi paling aman adalah menambah pasokan dengan memperbanyak jalur impor. Untuk jangka menengah dan panjang, solusi yang dibutuhkan adalah menarik investasi pada manufaktur alat kesehatan dalam negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement