REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Allah SWT telah memberi kesaksian bahwa Rasulullah memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Jika Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum sedangkan Allah belum menetapkannya dalam Alquran, apakah boleh dilaksanakan?
Imam Syafii dalam kitab Ar-Risalah menjelaskan, jika Nabi Muhammad SAW menetapkan satu hukum sedangkan Allah belum menetapkannya dalam Alquran, maka sejatinya Nabi menetapkannya sesuai dengan ketetapan dari Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat As Syura ayat 52:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Wa innaka latahdi ila shiratin mustaqimin.” Yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Selain menetapkan hukum yang sejalan dengan Kitabullah, Rasulullah SAW juga menetapkan hukum yang secara subtantif tidak diredaksikan dalam Alquran.
Apapun yang ditetapkan Rasulullah sebagai kepatuhan terhadap-Nya, dan menilai pembangkangan terhadap perintah beliau sebagai pembangkangan kepada Allah.
Dijelaskan bahwa Allah SWT tidak membuat jalan keluar untuk menghindari kepatuhan terhadap sunah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لاَ نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ
“Laa ulfiyanna ahadakum muttaki-an ala arikatihi ya’tihil-amru min amri mimma amartu bihi aw nahaitu anhu fayaqulu laa nadri maa wajadna fi Kitabillahi ittaba’nahu.”
“Jangan sampai aku mendapati salah seorang dari kalian berbaring di atas dipannya (bermalas-malasan). Telah datang kepadanya satu perkara yang telah kuperintahkan dan kularang, lalu ia berkata, ‘Aku tidak tahu, apa yang kami dapati dalam Kitabullah, maka itulah yang kami ikuti.”
Disebutkan bahwa terdapat dua fungsi sunnah Nabi terhadap Kitabullah. Pertama, mengafirmasi nash Alquran sebagaimana diturunkan Allah SWT.
Kedua, menjelaskan dari Allah tentang makna yang dimaksud Allah dari lafaz-lafaz yang dijelaskan secara garis besar.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah mewajibkan suatu perkara, secara umum atau khusus. Dan bagaimana seharusnya para hamba mengerjakannya sesuai kehendak-Nya.
Dalam keduanya ini, Rasulullah SAW tetap mengikuti Kiabullah. Namun demikian, Imam Syafii juga memberikan penjabaran mengenai adanya pendapat ulama yang menilai bahwa terdapat tiga fungsi atas adanya penetapan hukum dari Rasulullah SAW.
Pertama, apa yang diturunkan nashnya oleh Allah di dalam Alquran, lalu Rasulullah SAW menjelaskan sebagaimana dinashkan Alquran.
Kedua, apa yang dijelaskan Allah di dalam Alquran secara garis besar, lalu Rasulullah SAW menjelaskan dari Allah tentang makna yang dikehendaki-nYa. Kedua fungsi inilah, kata Imam Syafii, yang tidak diperselisihkan oleh para ulama.
Ketiga, apa yang ditetapkan Rasulullah SAW tanpa ada sandaran nash di dalam Alquran. Menurut sebagian ulama, dikarenakan Allah mewajibkan umat Islam agar taat kepada Nabi SAW dan Allah telah memberinya taufik untuk memperoleh ridha-Nya, maka Allah memberinya kewenangan untuk menetapkan perkara yang tidak ada sandaran nashnya dalam Alquran.
Menurut sebagian ulama yang lain, Rasulullah tidak menetapkan satu sunah pun melainkan beliau memiliki dasar dalam Alquran.
Hal ini sebagaimana sunnah Nabi yang menjelaskan jumlah rakaat sholat dan tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban sholat secara garis besar dalam Alquran.
Begitu pula sunah Rasulullah SAW mengenai jual beli dan aturan-aturan lain. Sebab Allah SWT berfirman dalam Alquran surat An Nisa ayat 29:
لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ “Laa ta’kuluu amwalakum bainakum bil-baathili.” Yang artinya, “Janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil.”