REPUBLIKA.CO.ID, — Syariat Islam melarang empat bulan haram melakukan peperangan dengan musuh meski untuk perang balas dendam. Perang apa yang sering terjadi di zaman jahiliyah itu?
"Di antaranya perang suku, perang kabilah, balas dendam, menjarah ternak kabilah lain yang dipandang musuh, perang yang tidak ada tujuan, kecuali kemegahan suku," tulis Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar.
Buya Hamka, kaum kafir, untuk kepentingan perang semacam itu mereka berani mengubah agama. Sebab itu ayat ini menerangkan bahwa perbuatan mereka mengundur-undur bulan itu, adalah tambahan dari kekufuran juga. "Sebab mengacau-balaukan agama, bahkan menentang perjalanan falak," katanya.
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.’” (QS At Taubah 37)
Maka setelah Rasulullah SAW datang membawa seruan agar kembali kepada agama asli ajaran Ibrahim dan Ismail, dicela keraslah perbuatan itu dan tidak dianggap sah. Abu Bakar disuruh memimpin rombongan Haji di tahun kesembilan.
"Kalau dituruti hitungan kaum jahiliyah yang berbuat nasi’ (mengundur-undurkan bulan haram) itu, kononnya menurut riwayat al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani masih bulan Dzulqaidah," katanya.
Dan ada lagi suatu riwayat dari sebuah hadits yang diriwayatkan Ath Thabrani bahwa naik haji Rasulullah SAW pada tahun kesepuluh yang tepat dalam bulan Dzulhijjah sejati, tidak ada mengundur-undurkan bulan haram lagi. Kebetulan di tanggal itu pula, 10 Dzulhijjah tahun ke-10 yang disebut yaumun nahr (hari qurban), yang sekali itu bertepatan tiap hari raya, yaitu hari raya Yahudi, hari raya Nasrani, dan hari raya Islam.
Di dalam Khutbah Rasulullah SAW di Mina dihari itu, yang dikenal dengan sebutan "Khutbatul Wada"', sampai ditanyakan oleh Rasulullah, untuk me-yakinkan para hadirin, tanah apakah ini, bulan apakah ini, dan hari apakah ini? Dijawab orang bahwa tanah ini adalah Tanah Haram yang dihormati, bulannya pun bulan haram dan harinya pun hari haram, artinya dihormati.
Menurut keterangan Mohammad Labib al-Batanuni di dalam bukunya Rihlatul Hijaziyah (Perlawatan ke Hijaz), dalam perjalanannya mengiringkan Khadevi Abbas Hilmi Pasya II naik haji pada 1908 disebutkan bahwa, memanglah Kabah itu telah dihormati sejak zaman yang lama sekali, yaitu diketahui sejak 27 abad, baik oleh Arab penyembah berhala, atau Yahudi atau Nasrani sekalipun, bahwa sampai pun ke Tanah Persia (lran), penyembah api.
Mereka mempercayai bahwa di Kabah itu ada roh Harmuz, salah satu dewa mereka. Sampai ke Hindustan, ada pula kepercayaan kuno, bahwa roh Syiboh (Syiwa?) menjelma di Hajar Aswad.
Orang Mesir kuno, konon percaya bahwa Hijaz itu memang bernama, Tanah Suci". orang Yahudi menghormatinya di zaman purba, sebab mengakui bahwa di sana memang pusat agama nenek mereka lbrahim.
Orang Nasrani Arab pun di zaman purba menghormatinya juga, sebagaimana hormatnya orang Yahudi. Sehingga di sana pernah mereka letakkan patung Nabi Ibrahim dan patung Nabi lsmail memegang mangkuk suci (Azlam) dan mereka letakkan juga gambar Almasih dan ibunya yang mulia.