Pendapat kedua adalah pendapat mazhab al-Malikiyah. Mereka berpendapat puasa sunnah makruh hukumnya jika orang itu masih memiliki utang Ramadhan. Ini berarti masih tetap boleh menjalankan puasa dan sah puasanya tapi akan lebih baik jika dikerjakan yang wajib dulu, yairu qadha’ Ramadhan.
Pendapat ketiga merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni kesunahan puasa hanya berlaku bagi mereka yang sudah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna. Jadi, mereka yang masih punya utang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, malahan itu menjadi keharaman.
Artinya orang yang berpuasa sunnah baik itu Syawal atau puasa sunnah lain sedangkan masih mempunyai utang Ramadhan dia berdosa dan puasa sunnahnya tidak sah. Ini berdasarkan pada salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa tersebut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa Ramadhannya,” (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya).
Namun, hadits tersebut berstatus matruk, salah satu bagian dari hadits dhaif. Oleh karena itu tidak bisa berpendapat dengan hadits itu karena kedhaifannya. Kedhaifan hadits ini sudah diakui oleh para ulama mazhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka seperti Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnu.
Meskipun keempat mazhab berbeda pendapat, semua ulama dari kalangan empat mazhab itu sepakat untuk menyegerakan yang wajib. Sebab, ibadah wajib sangat dianjurkan dan menunda-nunda kewajiban bukan sifat Muslim yang baik.