REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahyu Alquran yang diterima Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia sejatinya adalah wahyu yang orisinil. Alquran adalah sesuatu yang valid yang tak berubah dari Sang Pemberi Wahyu tersebut, yakni Allah SWT.
Dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 26- Allah SWT berfirman: “Alimul-ghaibi falaa yuzhiru ala ghaibihi ahada, illa manirtadha min Rasulill fa-innahu yasluka min baini yadaihi wa min khalfihi rashada, liya’lama an qad ablaghuu risaalaati Rabbihim wa ahaatha bimaa ladaihim wa ahshaa kulla syai’in adada,”.
Yang artinya: “(Dia adalah Tuhan) Yang Mahamengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu,”.
Prof Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Mishbah Jilid 9 menjelaskan pengetahuan-Nya tentang apa yang di hadapan dan di belakang para rasul menunjukkan Allah mengawasi jalur yang dilalui oleh wahyu sepanjang perjalanan. Yakni sepanjang perjalanan wahtu itu antara diri-Nya hingga sampai ke manusia.
Allah-lah yang memeliharanya sehingga tidak terjadi kerancuan atas wahyu tersebut, baik yang diakibatkan oleh kelupaan, pengubahan, maupun penyimpangan makna akibat ulah dan tipu daya setan. Hal itu disebabkan para pembawa wahyu, kata Prof Quraish, yang merupakan para rasul-Nya selalu dalam pemeliharaan Allah dan secara langsung disaksikan oleh-Nya pula.
Allah menyaksikan menyangkut apa yang ada di hadapan dan apa yang ada di belakang mereka. Thatathaba’i memahami kata ‘maa baina aidihim’ dalam arti antara mereka dengan siapa yang kepadanya mereka sampaikan wahyu itu.