REPUBLIKA.CO.ID, —Sesudah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq, kaum Muslimin dipimpin Umar bin Khattab. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang berjulukan al-Faruq itu tetap meneruskan kebijakan pendahulunya. Salah satunya mengenai ekspansi daerah kekuasaan Islam. Alhasil, perluasan wilayah di Syam pun turut menjadi perhatiannya.
Waktu itu, Muslimin sedang menantikan kabar dari pasukan Islam yang terjun dalam Perang Yarmuk. Tokoh kunci dalam pertempuran itu ialah Khalid bin Walid. Sahabat berjulukkan Pedang Allah yang terhunus itu tercatat tidak pernah kalah dalam setiap jihad yang diikutinya.
Maka ketika Umar naik sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar, diutusnyalah dua delegasi ke Syam. Satu utusan mengabarkan wafatnya Abu Bakar, sedangkan utusan yang lain membawa perintahnya mengenai Khalid. Yakni, pemecatannya dari jabatan komandan pasukan.
Seperti dijelaskan dalam biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal, antara dua sahabat Nabi SAW memang sering berseberangan. Menurut Haekal, baik Umar maupun Khalid dilanda krisis kepercayaan satu sama lain. “Umar melihat Khalid begitu sombong sehingga ia (Khalid) serba tergesa-gesa,” tulis Haekal.
Umar tampaknya masih mengenang kejadian nahas saat Fath Makkah. Khalid diketahui membunuh seorang, padahal Nabi SAW sudah memerintahkan agar tidak ada pertumpahan darah saat pembebasan Makkah. Kejadian terbunuhnya Malik bin Nuwairah di tangan Khalid pada zaman Abu Bakar pun sudah barang tentu diingat sang amirul mukminin.
Sebaliknya, Khalid diketahui menyimpan rasa gusar terhadap Umar sejak era khalifah pertama. Sewaktu diperintahkan Abu Bakar untuk beranjak dari Irak ke Syam, Khalid mengira perintah itu datang karena sang khalifah dipengaruhi opini Umar. “Dia (Umar) dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak,” kata Khalid.
Jika kepercayaan antara kedua orang itu sudah hilang sedemikian rupa, kerja sama pun sudah tidak akan mungkin, terutama jika yang seorang kepala negara dan yang seorang lagi pemimpin militer dan panglimanya. “Jadi tidak heran Umar memecat Khalid,” papar Haekal. Yang jelas, Khalid menerima surat pemecatan itu dengan lapang dada sekaligus strategis.
Maknanya, dia memastikan terlebih dahulu strateginya dalam Perang Yarmuk diterima, baru kemudian jabatan diserahkannya kepada Abdullah bin Ubaid, sosok yang ditunjuk Umar. Setelah mundur dari jabatannya, Khalid kemudian kembali ke Madinah untuk melapor kepada sang amirul mukminin bahwa titahnya sudah dilaksanakan.