Adapun yang dimaksud setinggi tombak dijelaskan oleh Seyyeidi Syekh al-‘Allamah Muhammad bin Ali Ba’athiyyah dalam kitabnya ‘Ghayat al-Muna’ yaitu setinggi tujuh hasta[2]. Sedangkan satu hasta menurut hitungan modern adalah 48 cm. Jadi Total tinggi tombak sekitar 336 cm.[3]
Syekh Hasan al-Kaff dalam kitabnya ‘Taqrirat Sadidah’ mengatakan bahwasannya jangka waktu dari matahari terbit hingga setinggi tombak adalah sekitar 16 menit. [4] Karena kadar tinggi tombak adalah empat derajat sedangkan satu derajatnya adalah empat menit.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tolak ukur fadhilah disini disebabkan karena menghindari khilaf [5]. Karena Imam al-Ghazali dalam al-Wajiz mengatakan bahwasannya masuknya waktu diperbolehkannya berkurban adalah dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit matahari ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. Atau dalam kata lain dimulainya waktunya ketika matahari sudah meninggi setinggi tombak (336 cm) karena waktu dimakruhkan shalat (sunnah tanpa sebab atau memiliki sebab yang mutaakhir) adalah dari terbitnya matahari sampai meningginya matahari setinggi tombak.[6]
Imam Ghazali berkata,
وَأَوَّلُ الوَقْتِ بِانقِضَاءِ وَقْتِ الكَرَاهَةِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ يَوْمَ العِيدِ بَعْدَ مِقْدَارِ خُطْبَتَيْنِ وَرَكعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Artinya:
“Awal masuknya waktu diperbolehkannya berkurban adalah dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit matahari ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan”
Pendapat Imam Ghazali ini bukanlah pendapat yang paling benar, akan tetapi demi sahnya berkurban dari semua pihak maka disunnahkan untuk mengikuti pendapatnya, yaitu mengakhirkannya sampai waktu tersebut untuk menghindari khilaf. Karena menghindari khilaf adalah sunnah.