Jumat 16 Jul 2021 11:45 WIB

Qurban Wajib atau Sunnah, Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?

Para ulama berbeda pendapat menyikapi hukum qurban

Para ulama berbeda pendapat menyikapi hukum qurban. Pemotongan daging qurban (ilustrasi)
Foto:

Oleh : KH Ahmad Rusdi, Dewan Pakar Persatuan Dosen Agama Islam Nusantara dan Pembina Alghanna Institute

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “Siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.”

Kalimat “Jangan dia mendekati tempat sholat kami” yang berupa ancaman bagi yang tidak berqurban padahal dia mampu, mengindikasikan bahwa berqurban itu wajib hukumnya. Karena ancaman tidak akan diucapkan Nabi SAW terhadap orang yang meninggalkan perbuatan yang tidak wajib.                               

Sementara yang berpendapat sunnah muakkadah karena ada hadits Rasul SAW yang menyatakan:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ  رواه مسلم “Jika kalian melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian mau berqurban, maka tahanlah diri Anda dari mencukur rambut, dan memotong kukunya.” (HR  Muslim).

Sementara tiga imam mazhab yang lain, bersandarkan pada hadits yang mengatakan “Salah seorang dari kalian mau/ingin berqurban.” Maka kata “mau/ingin” bukan menunjukkan sesuatu yang wajib, dengan demikian hukumnya sunnah. Tapi karena Rasul selalu melakukannya, maka dimasukkan dalam kategori sunnah muakkadah. 

Disamping juga ada atsar yang meriwayatkan bahwa Abu bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab pernah tidak berqurban karena khawatir orang-orang akan memandangnya sebagai perbuatan yang wajib. (Baca: al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, hal 599).

Sebagian besar kita berpandangan qurban hukumnya sunnah muakkadah, dan hal ini tidak salah. Yang kurang  pas adalah kerap kali mereka-mereka yang mampu secara ekonomi tidak berqurban dengan alasan hukumnya sunnah. 

Padahal amalan yang paling baik saat Idul Adha adalah  berqurban tersebut.  Dalam nash Imam Ahmad Bin Hanbal sebagaimana dikutip dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dikatakan : 

و نص الإمام أحمد على أن الأضحية أفضل من الصدقة بقيمتها “Dari Nash Imam Ahmad bin Hanbal bahwa berqurban lebih utama dari bersedekah dengan uang yang senilai dengan harga hewan qurban tersebut.”

Bahkan berhutang untuk keperluan berqurban dibolehkan dalam pandangan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini mengindikasikan betapa utamanya amaliyah ibadah qurban:  

و القادر عليها عند الحنابلة هو الذي يمكنه الحصول على ثمنها ولو بالدين إذا كان يقدر على وفاء دينه

“Yang disebut mampu adalah yang  bisa mendapatkan uang untuk membeli hewan qurban sekalipun dengan berhutang, dengan syarat orang tersebut yakin dan mampu akan bisa melunasi hutangnya tersebut.” (Baca: al-Fiqh al-Islamiy..., hal 602)

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً اَحَبَّ اِلَى اللهِ مِنْ إِرَاقَةِ الدَّمٍ اِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَ اَظْلاَفِهَا وَاِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ قَبْلَ اَنْ يَقَعَ مِنَ اْلاَرْضِ فَطِيْبُوْا بِهَا نَفْسًا

“ Tidak ada satu amalpun yang dilakukan bani Adam (manusia) pada hari Nahr (Idul Adha) yang paling disukai Allah selain daripada mengalirkan darah (menyembelih qurban). 

Qurban itu akan datang kepada orang-orang yang melakukannya pada hari kiamat dengan tanduk dan kukunya. Darah qurban itu lebih dahulu jatuh ke suatu tempat yang disediakan Allah sebelum jatuh ke atas tanah. Oleh sebab itu, doronglah diri kalian untuk suka berqurban.” (HR al-Hakim,  Ibnu Majah).  

Untuk itu jangan ragu berqurban jika memang kita mampu, meski hukumnya sunnah muakkadah. Karena berqurban merupakan wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT pada hari Idul Adha atas rezeki yang Allah berikan. 

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

 

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [QS Al Hajj 34]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement