REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap manusia pasti akan menemui ajalnya dan akan hidup hidup di alam barzah. Ketika di alam kubur ini, sebagian manusia akan mendapatkan siksaan yang berat sesuai dengan perbuatan dosa yang telah dilakukan di dunia.
Dalam buku berjudul “Rahasia Ruh & Kematian” karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang ditahkik Syekh M. Ayyub al-Ishlahi dijelaskan bahwa siksa kubur ada dua jenis. Pertama, siksa kubur yang berkelanjutan dan siksa kubur yang bersifat sementara.
Siksa kubur yang berkelanjutan adalah semua jenis siksa selain yang disebutkan di dalam hadits-hadits tertentu yang menyatakan bahwa ada siksa yang diringankan dari para penghuni kubur di antara nafkhatain (dua tiupan sangkakala).
Ketika pada penghuni kubur itu dibangkitkan dari dalam kuburan, mereka pun berkata,
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا
“Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?”.
Sedangkan siksa kubur yang bersifat sementara adalah siksa kubur yang terjadi sampai waktu tertentu lalu berhenti. Contohnya, yaitu siksaan yang ditimpakan terhadap sebagian pemaksiat yang kejahatan mereka ringan.
Mereka akan disiksa sesuai dengan kadar kejahatan mereka, lalu siksa itu akan diringankan bagi mereka. Seperti ketika siksa dilakukan di dalam api selama beberapa lama, lalu siksa itu dihilangkan dari orang yang bersangkutan.
Mungkin pula siksa yang ditimpakan kepada seseorang menjadi terhenti berkat doa, sedekah, istighfar, pahala haji, atau bacaan tertentu yang sampai kepadanya dari karib-kerabatnya atau orang lain. Hal ini sama seperti ketika seorang pemberi pertolongan (syafi’) memberikan pertolongan kepada orang yang disiksa di dunia sehingga orang tersebut selamat dari siksa berkat pertolongan orang tersebut.
Namun, pertolongan (syafaat) seperti ini dapat terjadi tanpa adanya perkenan dari orang yang diberi pertolongan. Adapun Allah Swt tidak pernah ada seorang pun yang mengajukan pertolongan (syafaat) di hadapan-Nya, kecuali setelah adanya izin dari-Nya.
Allah lah yang memberi izin bagi pemberi pertolongan (syafi’) untuk memberi pertolongan jika Dia berkenan untuk mengasihi orang yang diberi pertolongan (syafaat) tersebut.
Allah Swt berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ
“Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya” (QS. al-Baqarah [2]: 255).