REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apabila ada salah seorang dari keluarga atau kerabat wafat, hendaknya seorang muslim tidak meratapi kepergiannya.
Dikutip dari buku Shalat Jenazah karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, dibolehkan menangisi mayit asal jangan meraung-raung. Sebab Rasulullah ﷺ juga menangis ketika wafat putra beliau yang bernama Ibrahim, namun beliau tidak meratap atau meraung.
Haram hukumnya meraung dan meratap atas kematian seseorang. Termasuk meraung: menyebut-nyebut jasa-jasa si mayit, seperti mengatakan, "Oii fulan yang dermawan... Oii fulan yang baik hati".
An-Niyahah (ratapan) adalah tangisan dan rengekan seperti suara rengekan burung merpati. Perbuatan tersebut dilarang sebab hal itu menunjukkan penentangan (rasa tidak puas) terhadap takdir.
Demikian pula haram hukumnya: merobek-robek baju, menampar-nampar wajah, dan mengurai rambut atau perbuatan lainnya (yang menunjukkan rasa kesedihan yang mendalam). Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ
" لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ".
"Bukan dari golangan kami orang yang menampar-nampar wajah, merobekrobek pakaian, dan menyeru dengan slogan jahiliyah". (Muttafaqun ‘alaihi).
Dibolehkan belasungkawa selama tiga hari atas kematian si mayit bagi keluarga yang ditimpa kemalangan. Yaitu dengan menutup perniagaannya atau pergi untuk menenangkan pikiran (ke tempat yang tenang) dan lain-lain. Kecuali istri yang kematian suami, wajib baginya belasungkawa atas kematian suaminya selama waktu iddah yaitu empat bulan sepuluh hari, bila sang istri tidak dalam keadaan hamil, jika ia dalam keadaan hamil, masa belasungkawa baginya adalah sampai ia melahirkan.