Selasa 22 Jun 2021 19:48 WIB

Yahudi Penuhi Kriteria Hamba Saleh Pewaris Tanah Palestina?

Yahudi penjajah Palestina saat ini bukanlah Yahudi keturuna Nabi Yakub AS

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Yahudi penjajah Palestina saat ini bukanlah Yahudi keturuna Nabi Yakub AS. Ilustrasi Yahudi
Foto: abc.net.au
Yahudi penjajah Palestina saat ini bukanlah Yahudi keturuna Nabi Yakub AS. Ilustrasi Yahudi

REPUBLIKA.CO.ID, — Apakah Yerusalem masih merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka? Dalam Alquran surat Al Anbiya ayat 105, Allah menegaskan jawaban: 

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ  “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh."

Baca Juga

Sebagian ahli tafsir mengartikan bumi ini sebagai tanah suci. Dengan demikian, Yerusalem itu ditegaskan Allah Ta'ala akan diwariskan untuk hamba-hamba-Nya yang saleh.

Apakah kaum Yahudi memenuhi kriteria hamba Allah yang saleh? Imran N Hosein dalam Jerusalem in the Quran (2012) mengatakan, penegasan tentang kriteria tersebut bahkan sudah tercantum dalam Kitab Zabur, yakni ayat Mazmur yang berbunyi, “Orang-orang saleh akan mewarisi Tanah (Suci) dan tinggal di sana selamanya.” 

 

Maka menjadi logis bila kaum ini berulang kali terusir dari Yerusalem karena meninggalkan perilaku saleh. Dan, Alquran pun menyebutkan beberapa contoh tabiat nirsaleh itu, semisal membunuh para nabi. 

Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, lanjut Imran, sebenarnya kaum Yahudi sudah dimudah kan Allah untuk mengenali kenabian beliau. Bahkan, tanda yang teramat jelas juga ditunjukkan. Misalnya, sewaktu umat Islam masih disyariatkan untuk shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis. 

Dalam jangka waktu itu, masih saja banyak kaum Yahudi yang menolak kebenaran risalah Rasulullah SAW. Akhirnya, Allah menetapkan berubahnya arah kiblat Muslimin, yakni ke Kabah di Makkah.

Sejak abad ke-20, Gerakan Zionis Internasional yang didirikan Theodor Herzl (1860- 1904) berupaya merebut tidak hanya Yerusalem, tetapi juga seluruh negeri di antara Sungai Yordan dan pesisir MediteraniaPalestina. 

Mereka mengeklaimnya sebagai tanah yang dijanjikan untuk bangsanya, Yahudi. Padahal, berbagai penelitian membuktikan, mereka sendiri justru tidaklah termasuk Bani Israil. Mereka berada di luar 12 suku bangsa keturunan Nabi Yakub AS. 

Mereka adalah kaum Yahudi Ashkenazi yang nenek moyangnya berasal dari Asia Tengah atau Kaukasus, alih-alih Palestina. Keyahudian mereka pun didapat dari memeluk agama Yahudi. 

Hipotesis tentang Ashkenazi ini mula-mula diajukan ahli sejarah Semit yang juga penggagas konsep negara-bangsa modern, Ernest Renan. Barulah pada abad ke-21, teori Ashkenazi mendapatkan validitas berdasarkan riset genetik yang dilakukan para ilmuwan, semisal Eran Elhaik dari Universitas John Hopkins School of Public Health.

Gagasan di balik Zionisme yang melahirkan negara Israel adalah penjajahan atas bangsa tempatan, yakni Palestina. Kalaupun kaum Zionis ini menginginkan sebuah tanah air yang di atasnya kosong sama sekali, itu mungkin saja terjadi. 

Melansir Haaretz, dalam Kongres Zionis VI pada 1903 terungkap bahwa Inggris sebenarnya sudah memberi sinyal setuju untuk menyediakan kawasan koloninya di Afrika Timur untuk lahan bagi sebuah koloni atau permukiman Yahudi.

Proposal ini sering disebut sebagai Skema Uganda, walaupun kawasan yang dimaksud adalah bagian dari negara Kenya modern kini, bukan Uganda. 

Herzl sempat menilai, proposal ini merupakan solusi jitu bagi kaum Yahudi saat itu. Menurutnya, mereka bisa tinggal di sana untuk berlindung dari gelombang antisemitisme dan kekerasan, sembari menunggu terpe nuhinya janji Tuhan tentang Palestina. Tambahan pula, menyetujui skema ini berarti semakin eratnya hubungan Zionisme Internasional dengan Britania Raya.

Setahun sebelum kematiannya, Herzl bahkan sudah menyetujui pengiriman tim penyelidik untuk mencari tahu keadaan Afrika Timur. Akan tetapi, ketika Kongres Zionis VII digelar, banyak peserta merasa kecewa.

Bukan lantaran kondisi faktual calon tanah air Yahudi di Benua Hitam itu, melainkan lebih kepada alasan ideologis. Mereka merasa pemilihan negeri manapun selain Palestina akan bertolak belakang dengan ideologi Zionisme. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement