Kamis 10 Jun 2021 05:45 WIB

Pasukan Salib Menang? Sejarah Membuktikan Sebaliknya

Pasukan Salib mengalami kekalahan berturut-turut dalam sejarah.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Pasukan Salib mengalami kekalahan berturut-turut dalam sejarah. Suasana Perang Salib memperebutkan Yerusalem.
Foto: wikipedia
Pasukan Salib mengalami kekalahan berturut-turut dalam sejarah. Suasana Perang Salib memperebutkan Yerusalem.

REPUBLIKA.CO.ID,-- Sejarah membuktikan, Pasukan Salib hanya sesaat menikmati kemenangan. Selebihnya, mereka menderita berbagai kekalahan atau terpaksa menyepakati gencatan senjata. Orientalis Philip K Hitti membagi keseluruhan dua abad Perang Salib dalam tiga periode.

Periodisasi yang digagas penulis buku The History of Arabs ini diawali dengan masa penaklukan Pasukan Salib (1096- 1144). Kerja sama antara Paus Urbanus II dan Kaisar Alexius I dapat mengonsolidasikan semangat dan kekuatan umat Kristen- Barat. Pidato sang paus dalam Konsili Clermont pada 26 November 1095 menjadi gong mobilisasi massa besar-besaran. 

Baca Juga

Baca Juga: Lima Pahlawan Muslim Uni Soviet pada Perang Dunia II

Belum sampai ke Asia, gerakan ini justru telah membuat onar di tengah komunitas non-Muslim. Di Jerman, mereka membunuh banyak kaum Yahudi. Di Hungaria, gerombolan yang dipimpin Pierre l'Ermite itu juga merampok rumah-rumah penduduk setempat. Lepas dari Konstantinopel, pergerakan mereka dapat ditumpas pasukan Dinasti Seljuk. 

Pasukan Salib angkatan selanjutnya dipimpin Godfrey dari Bouillon. Berbeda dari sebelumnya, bala tentara salibis kali ini lebih terstruktur rapi. Pada 7 Juni-15 Juli 1099, mereka berhasil memorakporandakan Yerusalem. 

Tidak hanya membumihanguskan bangunan-bangunan Islam, mereka juga membantai puluhan ribu penduduk setempat, entah itu lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak, maupun Muslim, Yahudi, atau Kristen Ortodoks.

Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan Kristen-Barat di sepanjang wilayah antara Turki hingga Suriah. Kerajaan Yerusalem, Edessa, dan Tripoli masing-masing dipimpin Godfrey dari Bouillon, Raja Baudouin, dan Raja Raymond.

Masa selanjutnya adalah reaksi Muslim (1144-1192). Menurut Robert Irwin dalam artikelnya, "Muslim Response to the Crusades" (1997), pada mulanya raja-raja Muslim di Asia tidak menganggap Pasukan Salib sebagai ancaman.

Baca Juga: Mengapa Kekayaan itu Penting di Tangan Muslim yang Saleh?

Sebab, bukan sekali-dua kali para penguasa Kristen mengusik wilayah kedaulatan Islam. Demikian pula, pasukan Muslim pun berkali-kali tampil lebih unggul sehingga dapat menghalau setiap gangguan.

Sebagai contoh, kesan itu dapat dilihat dari catatan Imam Ghazali setelah dirinya melepaskan jabatan prestisius di Baghdad dan mengunjungi Yerusalem pada 1096. Dalam bukunya, ia tak satu kata pun menuliskan tentang kehadiran Pasukan Salib atau orang-orang Frank (sebutan bagi bangsa Kristen-Barat) di tanah suci tersebut. 

Yang dipandangnya sebagai ancaman justru rezim penguasa Syiah. Oleh karena itu, Imam Ghazali mendukung keberadaan suku bangsa Turk. Sebab, mereka dinilainya andal dalam urusan militer demi membela kedaulatan Islam (Sunni).

Jatuhnya Masjid al Aqsa pada 1099 mengubah pandangan umum. Pasukan Salib ternyata merupakan suatu ancaman nyata. Bagi Kekhilafahan Abbasiyah, serbuan salibis atas Yerusalem menyebabkan timbulnya arus pengungsi ke wilayahnya, termasuk Baghdad. Irwin mengutip ceramah yang disampaikan di Damaskus, al Harawi, di Masjid Agung Baghdad.

“Saudara-saudara, kita di Suriah kehilangan rumah-rumah mereka, dan kini hidup terlunta-lunta di atas sadel unta, di bawah bayang-bayang intaian burung bangkai.” Mendengarnya, jamaah dari kalangan pengungsi Suriah dan Palestina menangis tersedu-sedu.

Gubernur Mosul Imaduddin Zangi mengawali gerakan untuk memukul mundur Pasukan Salib dari Yerusalem. Hasilnya, Allepo dan ar Ruha dapat dikuasai kembali pada 1144. Putranya, Nuruddin Zangi, berhasil meneruskan pertempuran sehingga kian banyak daerah penting yang dapat kembali ke pangkuan Islam.

Baca Juga: Putra Mahkota: Amalkan Alquran, Brunei Dijauhkan dari Corona

Di antaranya adalah Damaskus (1147), Antiokia (1149), dan Mesir (1169). Dari Mesir, pemimpin militer Salahuddin al Ayyubi (Saladin) dapat menggalang kekuatan Muslimin untuk merebut Damaskus. Puncaknya, pada 2 Oktober 1187 pasukannya berhasil membebaskan Masjid al Aqsa.

Pasukan Salib pun kian menguatkan konsolidasi. Namun, mereka kalah dari bala tentara Salahuddin dalam perang di Hattin pada 1187. Sisa-sisa kekuatan salibis terus bertahan di Acre beberapa tahun kemudian. 

Selanjutnya, fase ketiga dari Perang Salib (1193-1291). Periode ini lebih dikenal dengan berbagai perang kecil-kecilan. Dalam masa ini pula, Pasukan Salib mengalami kehancuran. Menurut Philip K Hitti, mentalitas para salibis mulai berubah. Semangat membela agama mulai meredup dan digantikan oleh ambisi politik atau kekayaan materiel.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement