Ahad 06 Jun 2021 07:55 WIB

Catatan Terhadap Klaim Bahwa Ulama Bersepakat

Terdapat catatan kritis terkait klaim bahwa ulama bersepakat atas satu masalah

Terdapat catatan kritis terkait klaim bahwa ulama bersepakat atas satu masalah. Ilustrasi ulama
Foto: dok. Republika
Terdapat catatan kritis terkait klaim bahwa ulama bersepakat atas satu masalah. Ilustrasi ulama

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Setiap pelajar syariah, khususnya ilmu ushul fiqih, tentu tahu bahwa ijma atau kesepakatan ulama merupakan salah satu landasan hukum yang utama dalam Islam. 

Ia menempati urutan ketiga setelah Alquran dan sunnah. Saking pentingnya kaidah ijmak ini sampai-sampai banyak ulama mengatakan orang yang menyalahi dan berseberangan dengan ijma dihukum kafir.

Baca Juga

Mengapa dihukum kafir? Karena ia telah mengingkari sesuatu yang sudah diketahui dari agama secara pasti (bersifat aksiomatik). Misalnya mengingkari bahwa sholat yang wajib dalam sehari semalam itu adalah lima kali, mengingkari kewajiban puasa pada Ramadhan, mengingkari Kabah sebagai kiblat kaum Muslimin dan sebagainya.

Artinya ini sesuatu yang hampir tidak ada seorang Muslim pun yang tidak mengetahuinya. Imam Al Ghazali mengatakan: 

مستند الإجماع فى الأكثر نصوص متواترة وأمور معلومة ضرورة بقرائن الأحوال والعقلاء كلهم فيه على منهج واحد المستصفى 2/295

“Sandaran ijma itu sebagian besar adalah nash-nash yang mutawatir dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti (dalam agama), dimana setiap orang yang berakal sama dalam memahaminya.”  

Karena itulah para ulama sangat berhati-hati untuk mengatakan, “Ulama sepakat mengharamkan ini…” atau, “Ulama sepakat mewajibkan ini…”. Banyak klaim ijma dari para ulama dibantah ulama yang lain. Berbagai klaim ijma yang dimuat Imam Ibnu Al Mundzir An Nisaburi (wafat pada 318 H) dalam kitabnya yang terkenal (الإجماع) tidak diterima begitu saja oleh para ulama. 

Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) ketika menulis kitab Maratib al-Ijma tak luput dari berbagai kritikan dan bantahan. Di antara ulama yang mengkritisinya adalah Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728) dalam kitabnya Naqd Maratib al-Ijma. Padahal motivasi Ibnu Hazm menulis kitab itu adalah untuk meminimalkan klaim ijma yang begitu mudah dilontarkan sebagian orang:  

وقد أدخل قوم فى الإجماع ما ليس فيه وقوم عدوا قول الأكثر إجماعا وقوم عدوا ما لا يعرفون فيه خلافا إجماعا

“Banyak orang yang memasukkan dalam ijma sesuatu yang bukan ijma. Ada yang menganggap pendapat mayoritas adalah ijma. Ada juga yang menganggap pendapat yang mereka tidak tahu ada perbedaan di dalamnya sebagai ijma.”

Ia lalu menyebutkan beberapa sandaran para ulama dalam klaim ijma, seperti pendapat sahabat yang mereka tidak tahu ada pendapat lain yang berbeda dengannya, pendapat masyarakat Madinah, pendapat masyarakat Kufah dan seterusnya. Kemudian ia berkata: وكل هذه آراء فاسدة “Itu semua pendapat yang rusak.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement