REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Qurban secara digital melalui lembaga yang amanah dan profesional diperkenankan menurut fikih dengan ketentuan memenuhi seluruh rukun qurban. Di antaranya adalah memastikan adanya ijab dan qabul.
Ustadz Oni Sahroni menjelaskan dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 3 menjelaskan, kesimpulan diperbolehkannya qurban digital dilakukan dengan beberapa penjelasan. Pertama, keterangan yang diketahui oleh pequrban yang menunjukkan antara keterangan (ijab) pihak yang berqurban dan (qabul) mustahik itu sama dan menunjukkan pihak yang berqurban berdonasi dengan kerelaan hatinya adalah ijab dan qabul yang sah.
Kedua, serah terima tidak terbatas pada fisik qurban, tetapi yang menjadi tolak ukur adalah perpindahan kepemilikan dari donatur kepada mustahik melalui lembaga penerima amanah. Dalam hal ini salah satunya dapat melalui lembaga amil zakat (LAZ). Hal ini dilandasi sebagaimana standar syariah AAOIFI nomor 18 tentang Taqabudh.
Di sisi lain, para ahli fikih menegaskan syariah Islam mewajibkan serah terima sebagai bukti kepemilikan, tetapi tidak mengatur teknis serah terima tersebut. Maka yang menjadi referensi serah terima tersebut adalah tradisi pelaku pasar (urf tujjar).
Ketiga, diperkenankan dalam Islam seseorang berqurban dengan cara mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan penyembelihan sekaligus mendistribusikan dagingnya untuk masyarakat dan para mustahik. Lebih afdhal lagi jika yang berqurban tersebut ikut menyembelih qurbannya atau menyaksikannya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW menggiring 100 ekor unta bersama beliau. Setelah itu, beliau berpaling menuju tempat penyembelihan dan menyembelih 63 ekor hewan kurban dengan tangan beliau sendiri, lalu menyerahkannya kepada Sayyidina Ali, kemudian Ali yang menyembelih hewan yang tersisa,”. Hadits ini riwayat Ibnu Hibban.