Jumat 14 May 2021 05:45 WIB

4 Pernikahan yang Dilarang Agama, Salah Satunya Mutah

Nikah mutah atau kawin kontrak dengan masa tertentu dilarang agama

Nikah mutah atau kawin kontrak dengan masa tertentu dilarang agama. Ilustrasi Pernikahan .
Foto: Pixabay
Nikah mutah atau kawin kontrak dengan masa tertentu dilarang agama. Ilustrasi Pernikahan .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pernikahan merupakan bagian dari sunah Nabi SAW. Tidak heran jika Islam mengatur prosesi yang menjadi awal pembentukan institusi terkecil pada peradaban manusia. Meski bagian dari sunnah, ada beberapa jenis pernikahan yang ternyata terlarang dalam Islam.

Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, menjabarkan, terdapat empat jenis pernikahan yang secara tegas dilarang oleh agama. Antara lain nikah syighar, nikah mutah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.

Para ulama mazhab sepakat, nikah syighar atau nikahnya wali yang menikahkan gadis yang harusnya dinikahi kepada seorang pria tanpa mahar. Dengan bahasa mudahnya, nikah syighar itu adalah nikahnya seorang wali dengan seorang wanita yang berada dalam perwaliannya.

Nikah jenis ini dilarang dalam agama dan para ulama mazhab menyandarkan argumentasi tersebut berdasarkan hadis sahih. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan yang artinya sebagai berikut: "Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW melarang nikah syighar."

Meski demikian, para ulama tersebut berselisih pendapat mengenai hal lain yang berkaitan dengan perkara ini. Misalnya, apabila terjadi pernikahan syighar, apakah pernikahan tersebut dapat disahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak?

Para ulama kalangan Mazhab Malik berpendapat, hukum pernikahan tersebut tetap tidak bisa dan harus dibatalkan baik sesudah atau sebelum dukhul (berhubungan intim). Sedangkan, ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i berpendapat serupa.

Meski demikian, menurut pandangan ulamaulama garis ini, jika salah seorang pengantin atau keduanya sekaligus disebutkan ada mas kawin, pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.

Adapun menurut ulama kalangan Mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat, nikah syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Silang pendapat ini karena adanya persoalan apakah larangan yang terkait dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tidak adanya ganti atau tidak.

Sementara itu, nikah mutah alias nikah kontrak juga mendapat porsi hukum yang sama di kalangan ulama mazhab. Mereka sepakat bahwa nikah kontrak dilarang dalam agama.

Perihal nikah mutah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa seluruh ulama mazhab mengharamkannya. Ada beberapa hadits mutawatir dari Rasulullah SAW yang mengharamkannya. Meski demikian, hal itu diperselisihkan tentang waktu keluarnya larangan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW melarang praktik nikah mutah ini dalam peristiwa penaklukan Kota Makkah. 

Dalam faktanya, nikah mutah hingga kini masih kerap dipraktikan oleh kalangan tertentu. Sayangnya, praktik nikah mutah itu kerap membawa-bawa nama agama Islam sebagai rujukan dasar hukum adanya pernikahan tersebut.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, hadirnya nikah mutah ini secara tegas dan meyakinkan telah dilarang Rasulullah SAW. Tak hanya itu, ulama-ulama mazhab pun sepakat menghukuminya sebagai pernikahan yang dilarang. Semoga Allah menjauhkan kita dari praktik pernikahan semacam itu.

Pernikahan selanjutnya yang diharamkan dalam agama adalah pernikahan atas pinangan orang lain. Dalam kasus ini, para ulama membaginya ke dalam tiga aspek hukum. Pertama, pernikahan tersebut batal.

Kedua, pernikahannya tidak batal. Dan ketiga, dibedakan apakah pinangan yang kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati pemufakatan atau tidak. Aspek ketiga ini merupakan penjabaran dari pandangan Imam Malik.

Pernikahan lain yang diharamkan adalah nikah muhalil atau nikah untuk menghalalkan mantan istri yang telah ditalak bain. Menurut pendapat ulama mazhab Imam Malik, nikah semacam ini hukumnya batal.

Sedangkan menurut mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Syafii, nikah ini sah. Meski demikian, ulama mazhab Syafi'i meletakkan syarat dalam bolehnya nikah tersebut. Adapun adanya perselisihan pendapat para ulama ini disebabkan adanya perselisihan pemaknaan hadis Rasulullah SAW.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement