REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada perbedaan yang sangat jauh antara sikap hemat dan pelit. Hal ini sebagaimana perbedaan antara sifat rendah hati (tawadhu) yang merupakan akhlak terpuji dengan rendah diri yang merupakan akhlak tercela meskipun bentuk keduanya serupa.
Selain itu, perbedaan hemat dan pelit juga sama dengan halnya perbedaan antara kewibawaan yang merupakan perilaku terpuji dengan kesombongan yang merupakan perilaku tercela. Meskipun, bentuk keduanya sama.
"Demikian halnya dengan sikap hemat. Ia merupakan perilaku kenabian yang mulia. Bahkan ia termasuk sumber tatanan hikmah Ilahi yang berlaku di alam ini," kata Badiuzzaman Said Nursi dikutip dari bukunya yang berjudul Misteri Puasa, Hemat dan Syukur, Selasa (4/5).
Menurut Nursi, sikap hemat tidak ada kaitannya dengan sikap pelit yang merupakan gabungan dari kerendahan, kebakhilan, keserakahan, dan ketamakan. Bahkan, tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Yang ada hanyalah kemiripan lahiriah semata.
Nursi pun memberikan sebuah contoh yang menguatkan pendapatnya tersebut yaitu pada suatu hari, Abdullah yang merupakan anak sulung Umar bin Khattab terlibat dalam sebuah tawar-menawar yang cukup alot ketika melakukan transaksi di pasar hanya karena uang yang nilainya tidak lebih dari seribu rupiah. Hal itu dilakukan untuk menjaga prinsip hemat, serta untuk menjaga sifat amanah dan istiqamah yang merupakan modal sebuah bisnis.
Pada saat itu ada seorang sahabat lain yang melihatnya. Sahabat tersebut mengira bahwa Abdullah ibn Umar memiliki sifat pelit sehingga hal itu aneh baginya. Sebab, bagaimana mungkin sifat tersebut melekat pada diri Abdullah ibn Umar, putra Amirul Mukminin dan putra seorang khalifah.
Maka, ia pun membuntuti beliau hingga ke rumahnya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian, ia saksikan Abdullah ibn Umar sedang bersama seorang fakir di depan pintu rumah. Mereka berdua saling berbicara dengan santun dan ramah.
Setelah itu, Abdullah keluar dari pintu yang kedua dan berbicara dengan seorang fakir lainnya di sana. Hal ini tentu saja membuat sahabat tadi semakin penasaran. Lalu ia pun segera menemui dua orang fakir tadi guna meminta penjelasan dari mereka,
“Bolehkah aku mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar kepada kalian berdua?” “Ia telah memberi masing-masing kami sepotong emas,” jawab keduanya.
Mendengar hal tersebut, ia sangat terkejut sambil berkata, “Subhanallah! Di pasar beliau terlibat dalam perdebatan sengit hanya gara-gara uang senilai seribu rupiah, tapi di rumahnya beliau menyedekahkan ratusan kali lipat kepada dua orang yang sangat membutuhkan secara tulus tanpa ada yang mengetahui.”
Kemudian ia beranjak menuju rumah Ibnu Umar untuk menanyakan hal itu kepadanya, “Wahai Imam, tolong jelaskan kepadaku misteri ini. Di pasar engkau telah melakukan hal demikian, tetapi di rumah engkau melakukan hal yang berbeda.”
Abdullah ibn Umar kemudian menjawab, “Apa yang terjadi di pasar hanyalah wujud dari sikap hemat dan bijak. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk menjaga sifat amanah dan kejujuran sebagai modal utama dalam jual-beli. Ia sama sekali bukan merupakan cerminan dari sifat pelit dan bakhil. Sementara yang terjadi di rumah adalah berasal dari rasa kasihan, simpati, dan kemurahan jiwa. Jadi, yang tadi bukan sikap pelit, dan yang ini bukan sikap berlebihan.”
Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah di mana beliau berkata, "Tidak ada kata berlebihan pada sebuah kebaikan, dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang berlebihan.”
Maksudnya, berbuat baik kepada orang yang berhak menerimanya tidaklah disebut berlebihan. Sementara berlebihan sama sekali bukan merupakan kebaikan.