REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kemenangan dalam Perang Reydaniyya membuka jalan bagi Sultan Selim I untuk meneguhkan kedaulatan Turki Utsmaniyah/ Ottoman di dunia Islam. Sebab, Dinasti Mamluk yang berhasil dikalahkannya mau tak mau mesti menyerahkan kepadanya kendali pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Berdasarkan catatan sejarah, Selim I tidak memakai titel yang biasa digunakan para penguasa Mamluk, yakni Penguasa Dua Kota Suci (Hakimu'l Haramain). Alih-alih demikian, raja kesembilan Dinasti Utsmaniyah itu memilih gelar yang lebih bernada rendah hati:
Sang Pelayan Dua Kota Suci. Dengan menguasai Haramain, Turki Utsmaniyah layak mengenakan julukan khilafah. Transisi kekhilafahan dari Dinasti Mamluk ke Turki ditandai dengan upacara simbolis di Konstantinopel (Istanbul) pada 1517. Mamluk diwakili Al Mutawakkil III, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah yang berlindung di Kairo setelah bangsa Mongol membumihanguskan Baghdad pada 1258 sehingga dirinya hanya menjadi boneka Dinasti Mamluk sejak saat itu.
Dalam perjalanannya ke ibu kota Turki, Al Mutawakkil III didampingi keluarganya. Selim I memperlakukan rombongan ini dengan penghormatan yang semestinya diberikan kepada kalangan ningrat.
Menurut catatan sejarah tradisional Turki, upacara tersebut diiringi penyerahan beberapa lambang kekhilafahan Islam, seperti pedang dan mantel yang diyakini sebagai milik Nabi Muhammad SAW, dari khalifah lama kepada penguasa baru. Namun, narasi tentang prosesi tersebut sesungguhnya baru muncul di berbagai manuskrip pada 1780-an atau sesudah Perjanjian Kucuk Kaynarca yang mengakhiri perang antara Turki Utsmaniyah dan Rusia pada 1774. Cerita itu juga sering kali dikaitkan sebagai klaim yurisdiksi atas wilayah Muslim di luar Imperium Turki Ottoman.
Apa pun fakta sejarahnya, yang jelas jantung dunia Islam, yakni Makkah dan Madinah, sudah berhasil dikuasai Turki Ottoman selama berabad-abad. Sejak itu kesuksesan Sultan Selim I dalam menaklukkan Mamluk. Ia pun menyadari perannya sebagai khalifah bagi umat Islam, minimal dalam melindungi dua kota mulia tersebut dari segala macam ancaman dan gangguan.
Pemimpin Turki itu juga selalu berupaya menjamin keamanan dan kenyamanan jamaah dari berbagai penjuru dunia yang melaksanakan haji dan umrah di Tanah Suci. Pelayan Dua Kota Suci tidaklah semata-mata gelar, tetapi juga tugas untuk dijalankan sebaik-baiknya.
Menurut H Erdem Cipa dalam The Making of Selim: Succession, Legitimacy and Memory in the Early Modern Ottoman World (2017), sejumlah penulis pada abad ke-16 mengenang kepemimpinan Sultan Selim I sebagai masa yang penuh kedamaian dan keadilan bagi negerinya.
Mevlana Isa yang menulis pada zaman Sultan Suleiman I Al Qanuni bahkan mengibaratkan, pada zaman Selim I kumpulan domba dan serigala dapat berjalan beriringan tanpa saling bertengkar, dan begitu juga tikus terhadap kucing.