Rabu 14 Apr 2021 22:53 WIB

Selain Bijak Harun Al Rasyid Juga Ahli Ibadah, Ini Gurunya

Harun Al Rasyid merupakan sosok yang berhasil memimpin Abbasiyah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Harun Al Rasyid merupakan sosok yang berhasil memimpin Abbasiyah. Ilustrasi Kota Baghdad pada masa Abbasiyah berbentuk bundar.
Foto:

Sebagai contoh, Sultan Harun biasa merutinkan sholat sunat 100 rakaat tiap hari, bahkan hingga akhir hayatnya. Dia pun bersedekah 10 ribu dirham dari harta pribadinya kepada rakyat jelata. Dia kerap berkonsultasi kepada para alim ulama, baik dalam menemukan solusi persoalan keumatan maupun fikih ibadah-ibadah mahdhah. 

Di hadapan mereka, sang penguasa bersikap hormat dan rendah diri. Reputasi Khalifah Harun al-Rasyid juga cemerlang sebagai pencinta sastra. Dia memandang syair sebagai ungkapan kebudayaan yang sarat makna. Kisah persahabatannya dengan Abu Nuwas (sering disebut pula: Abu Nawas) melegenda bahkan sampai hari ini. 

Sultan Harun Al Rasyid (766-809) masih berumur muda saat menjadi pengua sa Dinasti Abbasiyah: 20 tahun. Namun, karismanya sudah terbangun bahkan sebelum dirinya naik takhta. Sebagai putra khalifah Muhammad Al Mahdi (745-785), dia tampil memukau dalam memimpin pasukan Muslimin untuk menggempur basis pertahanan Romawi Timur (Bizantium). Dia meraih kemenangan demi kemenangan sehingga musuh menyingkir jauh dari wilayah kekhalifahan.

Bahkan, Harun Al Rasyid dapat menguasai Ankara. Sedikit lagi mencapai jantung Bizantium, Konstantinopel. Meskipun urung menaklukkan ibu kota lawan, dia tetap mendapatkan pengakuan sebagai pemenang. Ratu Irene Sarantapechaina (752-803) bersedia mengirimkan upeti berupa puluhan ribu keping emas per tahun kepada Baghdad.

Bagaimanapun, Harun melihat ada lagi harta yang terpendam selain kemilau logam mulia. Seperti diceritakan Roger Garaudy dalam Promes ses de l'Islam, sang pemimpin Muslim itu tak menuntut ganti kerugian perang kepada Bizantium. Dia hanya mendesak musuh untuk menyerah kan manuskrip-manuskrip kuno kepadanya.

Ratu Irene pun mematuhi persyaratan itu. Memang, berbeda kondisinya dengan negeri-negeri Islam kala itu. Barat masih terpuruk dalam stagnansi. Geliat intelektualnya kalah jauh dengan wilayah-wilayah Muslim, semisal Baghdad, Basrah, Damaskus, ataupun Andalusia. Peradaban Islam pada masa itu sangat condong pada literasi. 

 

Menurut Roger Garaudy, para sultan menyokong perkembangan ilmu pengetahuan dengan sepenuh hati. Umat Islam terbuka terhadap warisan yang kaya dari kebudayaan-kebudayaan dunia yang berusia lebih tuasemisal Yunani, Persia, atau Cina. Muslim menghidupkannya dan memperbaruinya dengan worldview yang sejalan Alquran dan sunnah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement