REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia merupakan negara yang mejemuk yang terdiri atas beragam suku, adat, ras, budaya, dan agama. Meskipun berbeda-beda agama, masyarakat Indonesia sudah biasa saling membantu antara satu dengan yang lainnya.
Namun, bagaimana hukumnya jika umat Islam menerima sumbangan dari non-Muslim untuk membangun Masjid? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu mengetahui terlebih dulu sejarah Nabi Muhammad Saw saat berada di Makkah.
Seperti dikutip dari buku M. Quraish Shihab Menjawab, Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya berada di Makkah selama 13 tahun. Mereka berhubungan dagang atau jual beli dengan non-Muslim tanpa memandang kehalalan hasil usaha mereka.
Demikian juga di Madinah, menurut M Quraish, Nabi Muhammad juga berinteraksi dengan mereka (khususnya orang-orang Yahudi) dalam bentuk mengambil dan memberi serta saling menghadiahi tanpa mempertimbangkan keabsahan usaha mereka. Padahal, orang-orang Yauhdi sangat populer sebagai orang-orang yang melakukan riba (yang diharamkan).
Menurut M Quraish, ulama-ulama keempat madzhab menetapkan bolehnya kaum Muslim bermuamalah dengan non-Muslim serta menerima hadiah mereka dan wasiat-wasiat mereka, termasuk dalam pembangunan atau pemakmuran masjid.
Menurut M Quraish, hal ini karena kaidah-kaidah umum dalam Islam membenarkan segala bentuk transaksi dan akad-akad keuangan antara kaum Muslim dengan selain mereka. Menurut dia, hal itu difatwakan oleh Mufti Mesir, almarhum Syekh Jad al-Haqq.
M Quriash mengatakan, kebolehan ini tentu selama tidak ada dampak negatif dari muamalah itu, baik dalam bentuk dugaan keras membenarkan atau merestui ajaran yang sesat maupun merugikan umat.