Rabu 10 Mar 2021 16:51 WIB

'Hijrah' Sunan Bonang dari Dakwah Kekerasan ke Moderasi

Pendekatan dakwah yang represif membuat Sunan Bonang menghadapi resistensi

Pintu masuk makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur.
Foto: blogspot.com
Pintu masuk makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID,Legenda Walisongo memberi banyak hikmah kepada Muslim Indonesia. Apa yang dilakukan para wali pun menjadi cerminan betapa Muslim Tanah Air mengambil jalan Wasathiah, moderat dan pertengahan. Tengoklah kisah Sunan Bonang. Putra keempat Sunan Ampel ini sempat menimba ilmu kepada Syekh Maulana Ishak.

Upaya dia untuk belajar agama dilakukan saat berangkat haji ke Tanah Suci bersama Sunan Giri. Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo  menjelaskan, dakwah Sunan Bonang sempat menggunakan pendekatan lewat jalan kekerasan. Dalam Babad Daha-Kediri, dikisahkan bagaimana Sunan Bonang menghancurkan arca-arca yang dipuja masyarakat Kediri. 

Sunan Bonang bahkan pernah mengubah aliran Sungai Brantas. Dia menghendaki daerah-daerah tertentu yang tidak menerima dakwah dan syiar Islam kekurangan air. Akibatnya, masyarakat yang menolak kehadiran Islam dan Sunan Bonang harus menderita kekeringan. Pendekatan dakwah yang cukup represif tersebut, seperti termaktub dalam Babad Daha-Kediri, mengakibatkan Sunan Bonang menghadapi resistansi dari masyarakat Kediri berupa konflik. Adapun dua tokoh utama yang kala itu sangat menentang Sunan Bonang adalah Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang notabene penganut ajaran Bhairawa-bhairawi. 

Setelah kurang berhasil mengemban dakwah di Kediri, menurut naskah Hikayat Hasannuddin, Sunan Bonang lantas bertolak ke Demak atas panggilan Raden Patah. Di sana ia diberi amanat untuk menjadi imam Masjid Agung Demak. Setelah dari Demak, ia kemudian pergi ke tempat kakak kandungnya yakni Nyai Gede Maloka di Kadipaten Lasem, Jawa Tengah. Menurut naskah Carita Lasem, di sana Sunan Bonang diminta oleh Nyai Gede Maloka untuk menjaga dan merawat makam nenek mereka yang berasal dari Champa, yaitu putri Bi Nang Ti, di Puthuk Regol.

 

Dari sana, perspektif Sunan Bonang berubah. Kemudian, berkaitan dengan dakwahnya, setelah metode syiarnya gagal di Kediri, Sunan Bonang mulai memanfaatkan wahana kesenian dan kebudayaan guna lebih menarik simpati masyarakat. Dalam buku Atlas Wali Songo diterangkan, Sunan Bonang dikenal sebagai penggubah tembang-tembang Jawa, kemudian menjadikannya berbagai jenis gending untuk berdakwah. 

Selain itu, Sunan Bonang juga diketahui sebagai tokoh yang menemukan dan mendesain seperangkat gamelan Jawa yang disebut bonang, yakni alat musik logam, berbentuk mirip gong, tetapi dengan ukuran dan bentuk yang lebih kecil. Nama alat gamelan bonang diyakini diambil dari nama tempat yang menjadi kediaman Sunan Bonang, yaitu Desa Bonang di daerah Lasem. 

Menurut R. Poedjosoebroto dalam karyanya "Wayang Lambang Ajaran Islam", kata "bonang" berasal dari dua suku kata, yakni "bon" dan "nang", yang artinya induk kemenangan. Pada masanya, selain digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, bonang juga dipakai aparat desa untuk mengumpulkan warga guna memberi tahu wara-wara dari pemerintah.  Selain penggubah tembang dan penemu bonang, Sunan Bonang juga dikenal sebagai seorang dalang. Memanfaatkan pertunjukan wayang, penyebaran ajaran Islam yang dilakukannya menjadi lebih mudah diterima masyarakat kala itu. Berbeda ketika ia menerapkan cara-cara yang cenderung represif ketika berdakwah di Kediri. 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement