REPUBLIKA.CO.ID, Semasa hidupnya, Hasan al Banna dikenal sebagai tokoh yang amat bijak. Tidak terkecuali terhadap para pemikir sekuler Mesir yang kerap menuangkan gagasannya yang menyerang Islam. Pada satu waktu, sebuah Mingguan di Mesir memuat opini yang menohok. Artikel tersebut kurang lebih berisi pesan jika budaya telanjang merupakan fitrah manusia karena manusia lahir dalam keadaan telanjang.
Penulis artikel tersebut hendak mengajak para Muslimah untuk membuka auratnya. Sang penulis menganggap hijab sebagai penghambat kemajuan wanita. Pakaian penutup aurat pun dipandang bertentangan dengan fitrah wanita sendiri. Mahmud Abdul Halim, seorang anggota jamaah Ikhwanul Muslimin membacanya. Tanpa menunggu lama, dia menulis artikel balasan untuk menyanggah si penulis tersebut. Sebelum mengirim ke surat kabar, Mahmud Abdul Halim menemui Hasan al Banna untuk mendiskusikan tulisan artikel penyanggah itu.
Roni Haldi Alimi dalam Bashirah Imaniyah mengutip buku Ikhwanul Muslimin Ahdats Sana’at Tarikh saat menjelaskan kisah yang menggugah tersebut.
Hasan al-Banna berkata,”Saya sangat menyetujui isi tulisanmu. Namun saya punya perasaan lain terhadap penulis itu. Pertama, usia penulis artikel itu masih muda dan apa yang ditulisnya bukan murni berasal dari pemikirannya tapi biasanya dari lingkungan intelektualnya. Kedua, jiwa muda biasanya sangat menggemari tantangan dan suka mencari-cari musuh. Apa yang dilakukan penulis itu hanyalah sensasi muda dalam menemukan jati diri. Ketiga, karena penulis itu masih muda, masih ada harapan dan waktu baginya untuk berubah memperbaiki diri dan berbalik menjadi pemikul dakwah.”
“Dia menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal. Kalaupun dikenal, kolomnya tidak terlalu menarik perhatian banyak orang. Apalagi ditulis seorang penulis pemula yang belum punya nama. Kalau ditanggapi tulisannya, orang yang kenal dengan penulisnya jadi tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Tujuan ingin membantah tulisannya tapi malah akan meninggikan namanya dan bahkan menjauhkannya dari hidayah. Inilah tanggapanku. Akan tetapi kalau engkau ingin mengirimkan tulisan tanggapanmu terhadap tulisannya silakan saja,” jelas Mursyid Am Ikhwanul Muslimin itu.
Mahmud Abdul Halim pun mengurungkan niatnya untuk mengirimkan tulisan tanggapan ke surat kabar. Lantas, siapakah penulis yang dibicarakan dalam percakapan tersebut? Dia adalah Sayyid Quthb. Sosok sastrawan terkenal di Mesir. Dialah orang yang kelak menulis Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Sayyid Quthb yang semasa mudanya merupakan pengusung paham sekuler ini bertransformasi setelah mengalami pergumulan pemikiran. Dia pun berbalik arah untuk mendukung perjuangan dakwah di Mesir.