REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perempuan yang sedang menjalani masa iddah (bercerai hidup ataupun mati) memiliki sejumlah ketentuan perkara yang diatur dalam syariat. Salah satunya adalah perkara mengenai tempat tinggalnya dalam masa iddah itu.
Muhammad Bagir dalam bukunya berjudul Muamalah Menurut Alquran, Hadis, dan Para Ulama menjelaskan, seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah diharuskan tetap tinggal di rumah yang dia diami sebelumnya bersama suami. Tidak halal baginya untuk berpindah rumah dan tidak pula halal bagi si suami mengeluarkannya dari rumah itu.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah At-Thalaq ayat 65: “Ya ayyuhannabiyyu idza thalaqtum an-nisaa-a fathalliquuhunna li’iddatihinna wa ahshuul-iddata wattaquullaha Rabbukum laa tukhrijuhunna min buyutihinna wa laa yakhrujna illa an ya’tiina bifaahisyatin mubayyinatin wa tilka hududullahi, wa man yata’adda hududallahi faqad zhalama nafsahu laa tadriy la’allallaha yuhditsu ba’da dzalika amran,”.
Yang artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah-nya (yang wajar), dan hitunglah masa iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru,”.
Sedangkan wanita yang mengalami masa iddah karena talak ba’in (talak yang tidak memungkinkan rujuk) dan dalam keadaan mengandung, dia berhak atas tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan apabila ia tidak sedang dalam keadaan hamil, baik akibat talak tebus (khulu) atau talak ketiga, dia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal hingga masa iddah-nya selesai. Hal demikian merupakan pendapat ulama dari kalangan madzhab Maliki dan madzhab Syafii.
Adapun menurut Abu Hanifah, wanita dalam masa iddah demikian berhak memperoleh tempat tinggal selamamasa iddah-nya. Sama seperti yang ada dalam talak raj’iy, mengingat bahwa dia diharuskan menjalani masa iddah-nya di rumah yang menjadi tempat tinggalnya pada saat masih berlangsungnya ikatan perkawinan dengan mantan suaminya.
Adapun seorang wanita yang sedang dalam masa iddah akibat suaminya meninggal tidak memiliki hak nafkah ataupun tempat tinggal. Menurut mayoritas ulama, wanita dalam masa iddah semacam ini tidak memiliki hak atas kedua hal tersebut karena harta peninggalan suaminya telah menjadi hak para ahli waris lainnya.
Sedangkan dia sendiri (demikian pula anak yang dalam kandungannya apabila dia sedang mengandung) telah mendapat bagiannya masing-masing dari harta peninggalan suaminya itu. Namun demikian ada juga golongan ulama yang berendapat bahwa para suami dianjurkan membuat wasiat sebelum meninggal kepada istri-istrinya. Imbauan ini bentuknya bukanlah kewajiban.
Syekh Sayyid Quthub menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 240. Yakni bahwa perintah berwasiat dalam ayat tersebut memberikan hak bagi perempuan yang ditinggal di rumah suaminya dan hidup dari hartanya selama setahun penuh, tidak keluar dan tidak kawin lagi, jika yang demikian itu memang sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Atau boleh juga dia memilih meninggalkan rumah itu setelah selesai masa iddah-nya (yakni selama 4 bulan 10 hari) sebagaimana yang diwajibkan atas dirinya sesuai dengan ayat sebelum itu. Dengan demikian dijelaskan, tinggal sepanjang masa iddah tersebut adalah wajib hukumnya, sedangkan tinggal selama setahun penuh adalah hak baginya jika dia lebih senang tinggal.