REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena bank sperma memang tidak begitu dikenal di umumnya negara timur, namun fenomena ini justru sangat populer di dunia barat. Perbedaan sikap lintas-budaya di belahan dunia mengenai bank sperma ini harus disikapi umat Muslim dengan memegang prinsip syariat berdasarkan Alquran dan hadits.
Memang, dalam bahasan kitab-kitab fiqih klasik belum dipilih secara spesifik apakah persoalan benih janin itu terletak pada pria (yang bukan suami dari pasutri bersangkutan) ataukah pada wanita (yang bukan istri dari pasutri yang bersangkutan). Namun demikian prinsip-prinsip fiqih dan alur berpikir mereka dapat dijadikan acuan dalam memutuskan problematika kedokteran kontemporer seperti bank sperma ini.
Dalam buku Fikih Kedokteran Kontemporer karya Endy Astiwara dijelaskan, para ulama memandang bahwa inseminasi buatan dengan benih dari pria/wanita yang tidak dalam ikatan pernikahan adalah diasumsikan sama dengan jerih payah yang mengandung kezaliman. Yakni dari sperma yang bukan dari suami dari pemilik ovum dan/atau implantasi pada ovum wanita yang bukan istri dari pemilik sperma.
Pendapat tersebut antara lain didasarkan kepada riwayat Abu Dawud dan para penulis kitab As-Sunan. Yaitu tatkala terdapat dua orang yang mengajukan gugatan kepada Nabi Muhammad SAW terkait sebidang tanah. Yaitu yang satu menanam pohon kurma di suatu areal tanah yang dimiliki orang yang kedua.
Maka, Rasulullah memutuskan bahwa hasil bumi menjadi milik yang empunya tanah. Beliau bersabda:
وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ “Laysa li-irqin zhaalimin haqqun.” Yang artinya: “Jerih payah yang zalim itu tidak menghasilkan apa-apa,”.
Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW diriwayatkan pernah melewati seorang laki-laki yang sedang duduk di pintu sebuah tenda. Lalu Nabi diberitahu: “Laki-laki ini memiliki seorang budak perempuan yang mengandung dari (sebab) laki-laki lain, lalu ia menikahinya.” Mendengar hal itu, Nabi pun bersabda:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ “Laqad hamamtu an al’anahu la’nan yadkhulu ma’ahu qabrahu, kaifa kaifa yuritsuhu wa huwa laa yahillu lahu. Tsumma naha an yusqiya ar-rajulu maa-ahu zar’a ghairihi.”
Yang artinya: “Aku benar-benar ingin melaknatnya dengan laknat yang ia bawa masuk kubur. Bagaimana mungkin ia menggauli budaknya itu sedangkan budak itu tidak halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan anak budak itu sebagai pelayan, sedangkan ia tidak halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan budak itu sebagai ahli warisnya, sedangkan ia tidak halal baginya?”. Kemudian Nabi melarang laki-laki tersebut untuk mengairi dengan air tanaman orang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi.