REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Seseorang yang sudah taubat dari dosa diwajibkan untuk hijrah dari tempat maksiat demi mempertahankan keimanannya. Karena ketika sebuah tempatnya tidak mendukung untuk mengamalkan agama secara sempurna, maka hijrah menjadi sebuah kewajiban.
Isnan Ansory, Lc., M.Ag melalui bukunya "Hijrah Dalam Perspektif Fiqih Islam" mengatakan, hijrah dari tempat maksiat merupakan hijrah jenis ketiga secara fisik adalah hijrahnya seorang muslim yang bertaubat dari dosa-dosanya dari wilayah yang berpotensi akan mengganggu perjalanan taubatnya.
"Sebagaimana jenis hijrah kedua yakni hijrah dari wilayah kafir , hijrah jenis ini juga tetap berlaku hingga tertutupnya pintu taubat saat matahari terbit dari arah barat sebagai salah satu tanda di antara tanda-tanda hari kiamat," katanya.
Dari Mu'awiyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah hijrah terputus hingga taubat terputus, dan tidaklah taubat terputus hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Bentuk hijrah inilah yang juga diceritakan oleh Rasulullah tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang manusia, dan Allah menerima taubatnya di penghujung hayatnya dalam perjalanan hijrahnya dari negri yang penuh dengan kemaksiatan menuju negri yang penuh dengan ketaatan.
Dari Abu Sa'id al-Khudri: Nabi SAW bercerita bahwasanya ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang, lalu ia bertanya apakah masih ada pintu taubat untuknya?. Kemudian ia menemui seorang rahib dan bertanya kepadanya. Dia menjawab: 'Tidak ada pintu taubat untukmu.' Lalu ia membunuh rahib tersebut. Kemudian ia terus bertanya, hingga keluar dari desanya menuju desa yang lain yang di dalamnya terdapat orang-orang shalih. Namun ketika di tengah perjalanan, ajal menjemputnya. Ia pun meninggal dalam keadaan telungkup. Lalu Malaikat rahmat dan Malaikat azab saling berebut, setelah diukur jarak perjalanannya ternyata ia lebih dekat sejengkal dengan desa yang baik maka ia pun digolongkan sebagai penghuni desa tersebut. (HR. Muslim).
Isnan menuturkan secara bahasa, kata hijrah berasal dari bahasa Arab, "haajaro yuhaajiru muhajarotan wa hijrotan". Di mana kata ini berasal dari akar kata "hajaro yahjuru hajron" yang bermakana meninggalkan (attarku), berpaling (al-i’rodh), memutus (al-qoth’u) dan menahan (al-man’u).
Sedangkan makna hijrah itu sendiri yang berasal dari kata haajaro, bermakna "mufaroqoh" atau meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang yang lain. Dan orang yang melakukan hijrah disebut dengan muhaajir. Tentunya, secara bahasa, makna hijrah tidaklah berkonotasi secara khusus untuk hal yang bersifat positif ataupun negatif.
"Namun istilah hijrah secara bahasa dapat berpotensi untuk kedua-duannya " katanya.
Di mana seseorang yang berpindah meninggalkan suatu tempat yang baik menuju tempat yang buruk, juga bisa disebut hijrah, demikian pula sebaliknya. Selain itu, secara isti’aroh, istilah hijrah yang bersifat fisik, digunakan juga untuk hal-hal yang bersifat non fisik. Seperti hijrah yang dimaknai
Berpindahnya seseorang dari meninggalkan sifat yang buruk menuju sifat yang baik. Pengertian Hijrah Secara Terminologis Sedangkan jika istilah hijrah dimaknai secara terminologis, khususnya dalam terminologi Islam (makna syar’i), maka ia bermakna meninggalkan sesuatu atas dasar untuk melakukan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Fayumi (w. 770 H) menulis dalam kamusnya, al-Mishbah al-Munir fi Ghorib asy-Syarh al-Kabir.
Hijrah dengan mengkasrohkan huruf ha’ adalah meninggalkan suatu negri menuju negeri yang lain. Di mana jika hal itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hijrah ini disebut dengan hijrah syar’iyyah.