REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Terdapat hukum dan pendapat para ulama tentang manusia, kepemilikan tubuh manusia, hak atasnya, kuasa Allah, dan larangan bunuh diri. Haram hukumnya bagi manusia mendahului kuasa Allah.
Endy Estiwara dalam buku Fikih Kedokteran Kontemporer menjelaskan bahwa pendapat antara ulama diambil dari kaidah-kaidah fiqih. Pendapat mengenai ini seputar apakah fisik manusia itu dimiliki oleh manusia itu sendiri ataukah manusia hanya sebagai pemegang amanah yang diberi wasiat untuk menjaga badan? Juga apakah badan manusia itu adalah hak manusia ataukah hak Allah, hak bersama, dan siapa yang lebih dominan jika itu hak bersama?
Kemudian disebutkan pula bahwa apakah kepemilikan itu seperti kepemilikan harta dan perhiasan? Di mana terkandung di dalamnya hak kepemilikan absolut untuk memperjual-belikan, atau menghibahkan, atau mendonasikannya kepada pihak lain. Untuk itu apabila kepemilikan adalah sepadan dengan hal tersebut, maka pengelolaannya harus dilandasi maslahat dan tidak boleh mubazir.
Namun apabila tubuh itu sendiri adalah hak Allah, maka apakah hak Allah itu berupa sifat pengabdian kepada-Nya? Sedangkan hak hamba adalah hanya menggunakan, menikmati, dan memanfaatkan. Meskipun secara literal bahwa tubuh manusia merupakan gabungan antara hak Allah dengan hak manusia, namun sesungguhnya gugurnya hak hamba tidak berarti gugurnya hak Allah
Sebab hak Allah merupakan tujuan sejati dengan diciptakannya umat manusia. Allah berfirman dalam Alquran Surah Adz-Dzariyat ayat 56: “Wa maa khalaqtul-jinna wal-insa illa liya’budun,”. Yang artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku,”.
Adapun dari sisi kepemilikan seseorang terhadap tubuhnya sendiri, Hasan Ali Syadzili mengatakan: “Kepemilikan yang hakiki ialah milik Allah Yang Mahamemiliki. Dia Pencipta semua zat dan semua karakter, maka tidak ada pemilik yang sebenar-benarnya kecuali Allah,”.
Imam As-Syatibi pun berpendapat: “Para ulama berpendapat bahwa sesungguhnya setiap individu atau secara umum setiap benda tidak ada yang memiliki kecuali Allah SWT. Dan bahwasannya yang dimaksud dengan kepemilikan secara syar’I adalah sekadar memanfaatkan diri. Ini karena memanfaatkan fisik adalah kembali kepada hamba yang bersangkutan atas dasar kemaslahatan, dan bukan semata kepada fisiknya,”.
Hal ini dilandasi dengan dalil dalam sebuah hadis. Ibnu Abbas meriwayatkan, ia berkata: “Kaana Rasulullahi SAW idza ba’atsa juyusyahu qala: ukhruju bismillahi ta’ala tuqaatiluna fi sabilillahi man kafara billahi, laa taghdiruu wa laa taghluu wa laa tumatsiluu wa laa taqtulul-wildan ashaaba as-shawaami’I,”.
Ibnu Abbas meriwayatkan hadis yang artinya: “Apabila Rasulullah mengirim pasukan-pasukannya, beliau bersabda: ‘berangkatlah kalian dengan nama Allah untuk berperang di jalan Allah, jangan desersi, jangan melampaui batas, jangan tamatsul (yaitu pemenggalan tangan dan kaki musuh secara bersilangan. Misalnya memotong tangan kanan dan kaki kiri, atau tangan kiri dengan tangan kanan), serta jangan membunuh anak-anak dan para biarawan serta biarawati,”.
Atas dasar itulah, dijelaskan bahwa Allah mengharamkan bagi manusia untuk mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan. Karena hal yang demikian itu akan meyebabkannya diazab dengan azab yang sangat pedih. Sebab diriwayatkan bahwa di masa lalu, Nabi bersabda: “Kaana mimman kaana qablakum rajulun bihi jarhun fajaza-a fa-akhadza sakkinan, fajazza biha yadahu, fama raqa-a ad-damu hatta maata qalallahu ta’ala: baadaraniy abdi binafsih, harramtu alaihi al-jannata,”.
Yang artinya: “Pernah terjadi di masa lalu, seseorang mengalami luka lalu dia mengambil pisau dan dia memotong tangannya sendiri akibat luka tersebut. Maka darah pun mengucur deras hingga menyebabkannya meninggal dunia. Allah pun berfirman: ‘hamba-Ku telah mendahului (ketetapan-Ku) dengan bunuh diri, maka Aku pun mengharamkan surga baginya,”.