REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagaimana agama Islam memberikan perhatian seksama terhadap pemilihan seorang calon istri, demikian pula halnya perempuan terhadap pemilihan seorang calon suami.
Pada keduanya, hal yang perlu diperhatikan adalah keterikatannya dengan akhlak agama. Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, apabila kuat agama seseorang, maka niscaya dia akan memuliakan istrinya dan tidak akan pernah menzaliminya, meskipun di saat dia tidak mencintainya. Hal ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW dari Ibnu Abbas RA:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآله وسَلَّمَ، قَالَ: «خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Khairukum khairukum li-ahlihi wa anaa khairukum li-ahliiy.” Yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku (Nabi Muhammad) yang paling baik bagi keluargaku.” (HR at-Tirmidzi)
Tentang memilih calon suami, Imam Al-Ghazali berpendapat adalah wajib hukumnya bagi seorang wali (ayah atau anggota keluarga lainnya yang bertanggung jawab atas diri seorang perempuan) menilai dengan seksama sifat-sifat yang disandang oleh seorang calon suami.
Si wali, menurut Imam Al-Ghazali, ditekankan untuk memilihkan calon suami yang terbaik bagi putri atau saudara perempuannya. Bahkan, Rasulullah SAW bersabda:
من زوَّج كريمتَه من فاسقٍ فقد قطع رحِمَها “Siapa saja yang mengawinkan anak perempuannya dengan seorang fasik (rusak akhlaknya), sama saja dia dengan orang yang memutuskan tali kekerabatannya dengan anaknya itu.”