REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pilar Islam hanya dapat tegak apabila umatnya saling mengenal, menunjukkan solidaritas, dan bekerja sama dalam menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan. Tidak ada tempat lain yang lebih baik bagi solidaritas dan persaudaraan itu daripada masjid.
Maka di saat itu kaum Muslimin bersama-sama melaksanakan sholat berjamaah lima kali dalam sehari. Walaupun kepentingan duniawi mereka berbeda, rasa persaingan tumbuh di dalam diri.
Tapi dinding-dinding perpecahan dan kedengkian serta rasa sakit bisa luluh seketika apabila mereka bertemu untuk bersama-sama melaksanakan sholat berjamaah. Tentu, syaratnya bahwa dalam melaksanakan semua itu mereka harus benar-benar beriman kepada Allah. Sholat, beribadah dan berjalan menuju masjid, tidak munafik.
Dalam madzhab Imam Syafii, dikategorikan dua alasan yang diperbolehkan dalam meninggalkan sholat berjamaah. Pertama adalah alasan umum. Seperti adanya hujan, angin kencang di malam hari, hingga panas yang terik di jalan.
Hal ini disandarkan pada hadis riwayat Muttafaqun Alaih yang menceritakan bahwa Nabi pernah memerintahkan seorang muazin pada suatu malam yang dingin dengan hujan deras agar sholat di rumah masing-masing.
Sedangkan alasan kedua adalah alasan khusus. Yaitu berupa sakit, rasa lapar dan haus yang tak dapat ditunda, takut terhadap keselamatan jiwa dan harta, hingga menahan buang air kecil dan buang air besar.
Dasar dalil atas ini adalah hadis Nabi: “Idza quddama al-asyaau fabda’u bihi qabla an tushallu sholatal-maghribi, wa laa ta’jalu an asyaaikum,”. Yang artinya: “Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut dari sholat maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa sehingga makan malamnya tuntas,”.