Senin 25 Jan 2021 17:06 WIB

Jilbab SMKN 2 Padang, Muhammadiyah: Segera Musyawarah

Muhammadiyah meminta penyelesaian jilbab Padang dengan musyawarah

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni  meminta penyelesaian jilbab Padang dengan musyawarah.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni meminta penyelesaian jilbab Padang dengan musyawarah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni, meminta agar tidak emosional menyikapi polemik aturan penggunaan jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat. 

Menurutnya, persoalan tersebut sangat mungkin untuk diselesaikan dengan bermusyawarah. "Saya kira tidak perlu emosional menghadapi itu, musyawarah saja antara pengelola sekolah dan wali murid, bagaimana sebaiknya. Kalau dua-duanya sama-sama oke, dan tidak keberatan (menggunakan jilbab), saya kira itu tidak masalah. Dan kalau tidak (ingin menggunakan jilbab) juga tidak apa-apa. Itu hak siswa untuk menjalankan agama masing-masing, mestinya harus dijamin," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (25/1). 

Baca Juga

Syafiq menjelaskan, Muhammadiyah dengan sekolah-sekolahnya yang didirikan selama ini bisa dijadikan sebagai model sistem pembelajaran yang terbuka bagi pemeluk agama mana pun. 

Dia mengatakan, Muhammadiyah memiliki banyak sekolah di daerah di mana Muslim menjadi minoritas dan non-Muslim menjadi mayoritas. 

"Jadi mereka (murid non-Muslim) diberikan kebebasan berpakaian asal sopan. Jadi di tengah-tengah siswa yang berjilbab itu ada yang tidak berjilbab, bahkan gurunya juga tidak berjilbab, itu biasa di Muhammadiyah. Tetapi kalau mereka suka-rela berjilbab ya tidak masalah," ujar dia. 

Syafiq mengingatkan, sudah menjadi kewajiban bagi sekolah untuk menyediakan guru bagi siswa yang beragama tertentu dan menunjuk guru sesuai agama siswanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Di Kupang Nusa Tenggara Timur, Muhammadiyah memiliki universitas yang mayoritas mahasiwanya adalah non-Muslim. Begitu juga di Universitas Muhammadiyah Sorong di Papua Barat, sebagian mahasiswanya merupakan non-Muslim. 

"Itu baik untuk sekolah dasar, sekolah menengah, ataupun perguruan tinggi di sana, banyak yang non-Muslim, dan mereka banyak juga yang belajar agama Islam secara sukarela, bahkan ada yang menjadi aktivis menjadi anggota ikatan pelajar Muhammadiyah, saya kira ini suasana yang biasa di Muhammadiyah," katanya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement