Oleh : Prof Syihabuddin Qalyubi, Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kehidupan di pesantren dikenal ada tradisi qailulah, yaitu tidur sekejap di siang hari. Tradisi ini umumnya merujuk kepada hadits Nabi SAW:
قيلوا فإن الشياطين لا تقيل “Tidurlah qailulah (tidur siang) karena setan tidaklah mengambil tidur siang.” (HR Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb 1: 12; Akhbar Ashbahan, 1: 195, 353; 2: 69)
Ash-shanani dalam Subul al-Salam mengartikan qailullah istirahat di tengah hari, bahkan sekalipun tidak sambil tiduran. Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan waktu siang yang dimaksudkan untuk tidur siang, ada yang mengatakan sebelum waktu Zhuhur dan ada yang berpendapat setelah masuk waktu Zhuhur.
Jika ditelusuri sabda Rasulullah di atas merujuk kepada firman Allah SWT dalam ar-Ruum: 23 tentang keberkahan melakukan tidur di tengah hari:
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan."
Selanjutnya, dalam al-Naba: 9 Allah SWT berfirman:وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.”
Sebagian mufassir memaknai subata dalam ayat tersebut adalah beristirahat dan tenang, ada sebagian ahli bahasa memaknainya menghentikan diri dari segala aktivitas, sehingga maksud dari ayat tersebut bahwa tidur itu menghentikan segala gerakan dan mengistirahatkan badan. Di kalangan Bani Israil Sabat atau hari Sabtu adalah hari peristirahatan, sehingga mereka tidak melakukan aktivitas apa pun pada hari itu.