REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi segelintir orang tertentu yang beriman, kematian hanyalah momen yang harus dilewati sebagai alat menuju perjalanan berikutnya.
Tiada gentar ataupun rasa takut yang membuncah, rasa tenang bahkan meliputi mereka, termasuk ilmuwan Muslim satu ini, Abu Raihan Al-Biruni.
Syekh Aidh Al-Qarni dalam buku La Tahzan menjabarkan mengenai detik-detik kematian Abu Hasan Al-Biruni. Al-Biruni yang dikenal sebagai seorang matematikawan, filsuf, astronom, hingga ahli kedokteran ini memang cukup produktif menghabiskan usianya dalam dunia keilmuan dan penulisan.
Selama hidupnya, Al-Biruni hampir-hampir tak pernah sekali pun melepaskan pena dari tangannya. Matanya tak pernah berhenti mencermati, otaknya tak berhenti untuk berpikir, kecuali di waktu-waktu krusial seperti beribadah dan mencari penghidupan seperti makan dan minum.
Jelang kematiannya, Al-Faqih Abu Hasan Ali bin Isa datang menjenguk Al-Biruni yang tengah dilanda sakratul maut. Al-Biruni saat itu terlihat dengan nafas yang sudah tersengal-sengal diiringi dengan sesak dada. Dalam keadaan seperti itu, ia masih sempat menanyakan kepada Al-Faqih Abu Hasan mengenai matematika dan hukum waris.
Al-Biruni berkata: “Bagaimana menurutmu tentang perhitungan nenek yang tidak berhak mendapatkan warisan?”. Karena kasihan kepadanya, Al-Faqih Abu Hasan justru balik bertanya: “Apakah dalam keadaan seperti itu engkau masih harus bertanya kepadaku mengenai ini?”.