REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajaran Islam sangat kaya dengan bukti-bukti teks keagamaan tentang keterkaitan agama dengan kewarganegaraan (cinta tanah air). Kewarganegaraan bukanlah produk yang lahir dari ideologi modern barat, sebab jauh sebelum peradaban barat berkembang, Islam telah memperkenalkan gagasan ini sejak lama.
Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Islam dan Kebangsaan menjelaskan, Islam mempertemukan gagasan antara relasi manusia dengan manusia di lingkup sosial maupun kenegaraan, serta relasi manusia dengan Allah. Hal ini diabadikan secara gamblang di dalam Alquran Surah Al-Hasyr ayat 9.
Allah SWT berfirman: “Walladzina tabawwa-u ad-daara wal-imaana min qablihim yuhibbuna man haajara ilaihim wa laa yajiduna fi shudurihim haajatan mimmaa utu wa yutsiruna ala anfusihim wa law kaana bihim khashaashatun wa man yuwqa syuhha nafsihi fa-ulaika humul-muflihun,”.
Yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung,”.
Prof Quraish juga menyebutkan Alquran juga mengabadikan teks tentang penyejajaran pembelaan negara dengan pembelaan agama. Hal ini sebagaimana tercatat dalam Alquran Surah Al-Mumtahana ayat 8.
Allah berfirman: “Laa yanhaakumullahu anilladzina lam yuqatilukum fi ad-dini wa lam yukhrijukum min diyaarikum an tabarru-hum wa tuqsithu ilaihim innallaha yuhibbul-muqsithin,”.
Yang artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,”.