Kamis 24 Dec 2020 08:13 WIB

Terima Mahar Politik Saat Pilkada, Halalkah?

Nabi SAW pun melarang kepada kita untuk meminta jabatan.

Polisi berjaga saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Surabaya 2020 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 46 Kelurahan Kedurus, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/12/2020). PSU dilakukan karena seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan nomer ke sejumlah surat suara saat pemungutan suara Pilkada Kota Surabaya 2020 pada 9 Desember 2020 lalu.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID --- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 baru saja usai. Praktik mahar politik diduga masih menjadi fenomena yang terjadi pada pilkada  saat masa pandemi tersebut. Sebelum berkontestasi untuk masuk bursa calon kepada daerah, mereka mencari rekomendasi partai politik dengan imbalan sejumlah mahar. 

Ijtima Alim Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2018 pernah  membahas fenomena ini. Para ulama fikih mencoba menjawab ketentuan hukum meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung sebagai kepala daerah, kepala pemerintahan, anggota legislatif, hingga jabatan publik lainnya. Ulama juga membahas hukum pemberian imbalan tersebut dan status hukum imbalan yang sudah diterima.

Para ulama berpandangan transaksi antara kontestan pemilu dengan partai politik sudah terlalu sering sehingga dianggap permisif. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk kebiasaan dalam berpolitik.

Padahal, hukum positif yang termaktub dalam UU No 1/2015 mengatur bahwa, "Par tai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam ben tuk apa pun pada proses pen calonan gubernur, bupati, dan wali kota.

Demikian pula sebaliknya, "Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan par tai politik da lam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota."

Untuk lebih menegaskan hukum terhadap mahar politik ter sebut, Ijtima Ulama pun menyu sun fatwa mengenai hukum pemberi dukungan yang menerima imbalan dari orang yang didukungnya.

Hukum dasar korupsi di da am Islam adalah haram. Alqur’an dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim. Supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa. Padahal kamu mengetahui."(QS al- Baqarah 188).

Allah SWT pun memberi penegasan terhadap larangan dalam korupsi. "… Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.. " (QS Ali Imran: 161).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, korupsi atau suap sebagai risywah. Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberinya disebut rasyi, sedangkan penerimanya disebut murtasy.

Penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. MUI pun memberi fatwa bahwa hukum dasar korupsi adalah haram. Ulama mengqiyaskan dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah SAW pernah mengangkat seorang petugas penarik zakat. Setelah menyelesaikan tugasnya, petugas itu melapor kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah ini buat baginda dan ini dihadiahkan untuk saya.

Lalu Rasul SAW berkata kepada nya: Tidakkah (sebaiknya) engkau duduk saja di rumah ayah ibumu lalu engkau tunggu apa kah engkau diberi hadiah atau tidak. Lalu Rasulullah menyampaikan khutbah malam hari setelah shalat.

 

 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement