REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pengasuh Pondok Pesantren Al-Madinah, Habib Umar Muthohar menjelaskan ciri-ciri orang shaleh. Pengertian shaleh kata dia tidak selalu yang banyak shalat, zakat, sedekah, atau wirid. Shaleh adalah orang yang menjalankan hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya. Itu merupakan akhlak para wali dan Nabi.
“Urusannya kepada Allah beres, wajib shalat, haji, zakat, dan puasa. Tidak hanya itu ditambah dengan sunnah dan akhlak kepada sesama juga baik. Jadi walaupun orang itu keningnya berbekas karena sujud kalau ke sesama tidak baik, masih banyak urusan yang belum selesai,” kata Habib Umar Muthohar dalam video bertajuk Kisah Orang Shaleh di kanal Youtube NU Online.
Mereka yang termasuk orang shaleh, para wali, urusannya kepada masyarakat telah selesai. Mereka tidak mau mempunyai tanggungan nanti saat berhadapan dengan Allah. Sebab, urusan sesama manusia benar-benar dihitung Allah. Allah tidak mau para hamba-Nya sering ibadah tapi sering fitnah.
“Keberkahan orang shaleh itu kalau diibaratkan seperti minyak wangi baunya sampai kemana-mana. Karena dia diberi hidayah oleh Allah untuk interaksi dengan Allah positif, interaksi dengan sesama juga positif,” ujar dia.
Habib Umar Muthohar melanjutkan, diceritakan tentang orang shaleh dalam Alquran, kala itu Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS mendatangi sebuah negeri. Mereka meminta agar dijamu, namun para penduduk tidak mau menjamu mereka. Nabi Musa telah kehabisan perbekalan. Niatnya, dia ingin minta makanan dari warga setempat. Sayangnya penduduk di sana malah mengusirnya.
Di negeri itu terdapat sebuah bangunan yang temboknya akan roboh. Nabi Musa sangat heran karena Nabi Khidir malah memperbaiki tembok tersebut. Ketika ditanyai alasan mengapa memperbaiki tembok itu, ia menjawab yang tercantum dalam surat Al-Kahfi ayat 82 :
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا ۚفَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَآ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًاۗ ࣖ
Wa ammal-jidāru fa kāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahụ kanzul lahumā wa kāna abụhumā ṣāliḥā, fa arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik, wa mā fa\'altuhụ \'an amrī, żālika ta`wīlu mā lam tasṭi\' \'alaihi ṣabrā.
“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”
Habib Umar Muthohar mengatakan menurut para ahli tafsir, kedua anak yatim tersebut dimuliakan Allah sampai harta karun yang berada di sana dilindungi karena sosok ayahnya yang shaleh. Ada pula para ahli tafsir yang menafsirkan yang dimaksud ayah di sini adalah kakeknya yang ketujuh merupakan orang shaleh sehingga cucunya merasakan nikmatnya.