REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suami-istri non-Muslim yang masuk Islam, pernikahannya dianggap sah, tidak perlu mengadakan akad nikah ulang, tidak usah memperbarui akad nikah (tajdidun nikah). Anak-anak mereka juga dianggap sah, bukan anak haram.
Jika anaknya perempuan, maka hak perwalian ada di tangan ayah kandungnya yang dulu non-Muslim. Pada zaman Nabi SAW, banyak orang kafir yang masuk Islam beserta istri mereka, dan beliau menerima mereka sebagai suami istri, tanpa ada akad nikah lagi.
Beliau juga tidak pernah menanyakan seluk-beluk pernikahan mereka pada zaman jahiliyah. Di antara riwayat tentang hal ini: "Ghailan bin Salamah masuk Islam beserta sepuluh istrinya. Maka, Rasulullah SAW memerintahkannya untuk memilih empat orang di antara mereka" (HR Ahmad dan at-Turmudzi dari Salim r.a.).
Andai pernikahan Gailan dengan istri-istrinya yang berlangsung saat mereka masih kafir dianggap tidak sah, Rasulullah SAW tidak menyuruh untuk memilih yang empat, tapi akan menyuruh membatalkan pernikahannya dan mengulang akad nikah secara Islam.
Mengenal tajdidun nikah
KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer 3 mengatakan pada zaman Nabi SAW dan para sahabat tidak pernah terjadi seperti yang terjadi pada zaman kita sekarang ini. Diriwayatkan dari asy-Sya'biy bahwa Zainab binti Rasulullah SAW sudah muslimah sedang suaminya, Abu al-Ash bin ar Rabi masih musyrik.
Tetapi beberapa waktu kemudian masuk Islam, namun beliau tidak memperbarui akad nikah mereka (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq). Jauh sesudah zaman Nabi SAW memang pernah terjadi tajdidun nikah, tetapi karena nikahnya dianggap batal.
Diriwayatkan dari ats-Tsauri, ada lelaki yang menikahi familinya tanpa sepengetahuan wanita yang dinikahi. Ketika berita pernikahan itu sampai kepada wanita tersebut, maka dia mengingkarinya (tidak mau). Tetapi, katika diberitahu bahwa lelaki itu berkecukupan dan setara dengannya, maka dia berkata, "Saya mau." Maka ats-Tsauri berkata, "Nikahnya batal, maka perbaruilah pernikahan mereka" (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq ash-Shan'ani).