Selasa 08 Dec 2020 05:55 WIB

Mengapa Sebagian Orang Alergi dengan Ihya Ulumiddin Ghazali?

Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali tak lepas dari pro dan kontra

Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali tak lepas dari pro dan kontra. (Foto: Ilustrasi perpustakaan)
Foto:

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

Ketika menjawab kritikan Imam Maziri, Imam Taqiyyuddin as-Subki memberikan penjelasan yang bisa disebut sebagai kunci dalam memahami akar terjadinya perbedaan penilaian terhadap kitab Ihya`. Ia mengatakan :

لا يخفى أن طريقة الغزالي التصوف والتعمق فى الحقائق ومحبة إشارات القوم وطريقة المازري الجمود على العبارات الظاهرة والوقوف معها والكل حسن ولله الحمد إلا أن اختلاف الطريقين يوجب تباين المزاجين وبعد ما بين القلبين لا سيما وقد انضم إليه ما ذكرناه من المخالفة فى المذهب

“Tidak asing lagi bahwa metode yang ditempuh al-Ghazali adalah metode tasawuf, pendalaman terhadap hakikat dan kesukaan kepada bahasa isyarat kalangan sufi. Sementara metode yang ditempuh al-Maziri adalah berfokus (jumud) kepada ungkapan yang lahir dan menjadikannya sebagai pijakan. Semuanya baik, alhamdulillah. Hanya saja perbedaan kedua metode ini menyebabkan berbedanya mizaj (mood) masing-masing mereka dan berjaraknya hati. Ditambah dengan berbedanya mazhab keduanya (al-Ghazali bermazhab Syafi’i sementara al-Maziri bermazhab Maliki).”

Tampak dalam jawaban ini, Imam as-Subki mencoba menemukan benang merah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan antara kedua imam, dengan tetap menghormati keduanya dan tidak merendahkan siapapun. Hal senada beliau sampaikan ketika menjawab kritikan Imam Ibnu ash-Shalah :

ولا ينكر فضل الشيخ تقي الدين وفقهه وحديثه ودينه وقصده الخير ولكن لكل عمل رجال “Kemuliaan, keutamaan, kefaqihan, keahlian dalam hadits, ketaatan dan niat baik Syekh Taqiyyuddin (Ibnu Shalah) tidak diragukan lagi. Namun setiap bidang ada tokohnya masing-masing.”

Demikian juga yang disampaikannya tentang Imam al-Maziri: “Ketinggian ilmu al-Maziri tidak diragukan lagi. Tapi sesuatu yang tidak diketahui secara baik, tidak dirasakan dan tidak didalami, wajar jika ada yang mengingkari. Setiap orang hanya bisa beradaptasi dengan sesuatu yang sesuai dengan kebiasaannya dan dalam kadar yang diketahuinya.”

photo
Warga mengusap mukanya saat dzikir dan doa bersama di Masjid Agung Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (6/2/2020). - (M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO)

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di antara pihak yang paling sering men-tahdzir kitab Ihya` Ulumiddin ini adalah sebagian kalangan salafi. Bahkan di sebagian tempat, kajian kitab ini diwanti-wanti, atau bahkan dijegal.

Alasannya tidak jauh beda dengan dua hal pokok di atas yaitu warna tasawuf yang sangat kental dalam kitab Ihya` dan sebagian hadits-haditsnya yang dhaif, lemah dan maudhu’, palsu.  

Terkait hal pertama, dari penjelasan Imam as-Subki di atas bisa ditangkap bahwa memang ada perbedaan pendekatan antara Imam al-Ghazali, yang lebih cenderung kepada tasawuf dan hakikat, dengan pendekatan fuqaha` dan muhadditsin yang lebih cenderung kepada hal-hal yang tampak (zhawahir). Berbedanya metodologi dan pendekatan tentu berdampak kepada berbedanya natijah dan kesimpulan.  

Terkait hal kedua, para ulama sudah men-takhrij dan menjelaskan status hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Ihya`, seperti yang dilakukan Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra dan Imam al-‘Iraqi yang secara khusus men-takhrij dan menghukumi hadits-hadits dalam Ihya` dengan karyanya yang sangat masyhur: al-Mughni 'an Haml Asfar. Dengan demikian, pembaca kitab Ihya`bisa mengetahui dengan mudah mana hadits yang bisa diterima dan mana yang mesti ditolak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement