REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam sejarah awal munculnya Islam, umat Islam sempat berjihad melalui perang. Dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad memang diperbolehkan, tetapi Islam memberi aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Misalnya, dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut berperang.
Dukutip dari buku “Damai Bersama Alqur’an: Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Konsep Perang dan Jihad dalam Alqur’an”, Mufti Besar Mesir Prof ‘Ali Jumu’ah menyebutkan enam syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme.
Pertama, yaitu cara dan tujuannya harus jelas dan mulia. Kedua, perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil. Ketiga, perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai.
Keempat, melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi. Kelima, memelihara lingkungan, antara lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah atau bangunan. Keenam, menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.
Salah satu tim penulis buku “Dalam Bersmaa Alqur’an”, Muchlis M Hanafi menjelaska, dari syarat dan etika perang dalam Islam tersebut sangat perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme.
Oleh karena itu, menurut dia, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma’ al-Fiqh al-Islamiy no 128 tentang Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional pada poin kelima menyatakan, “Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah, seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan oleh media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya.