Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen di STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, Membicarakan tema diatas untuk saat ini sangat sensitif, karena cenderung dikaitkan dengan kasus ucapan seorang tokoh yang diidolakan banyak orang, yang dinilai tidak pantas, yang merespon penghinaan seorang selebritis terhadap dirinya.
Karena ia seorang public figur dan tokoh yang sepak terjangnya tidak diragukan, tentu ada pihak yang sangat fanatik dan ada pihak yang sangat antipati.
Pihak yang sangat fanatik cenderung mencari pembenaran terhadap apapun yang muncul dari tokoh idolanya seolah-olah ia seorang yang maksum. Sebaliknya, pihak yang sangat antipati cenderung membesar-besarkan sebuah kesalahan yang lebih tepat disebut kekhilafan. Seolah, dengan satu kekhilafan itu seluruh kebaikannya patut dibumi-hanguskan dan dicampakkan begitu saja.
Tidak hanya terkait dengan kasus di atas, tema tentang ini juga sensitif dibicarakan karena ada sementara orang yang berpandangan bahwa kalau terlalu mengedepankan sisi kelemah-lembutan, kasih-sayang, memaafkan, toleransi dan sebagainya, hanya akan memberikan kesan bahwa agama ini ‘lembek’, ‘cemen’, dan tidak punya ketegasan.
Sebaliknya, sebagian orang ada yang begitu getol menyuarakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin lalu mengabaikan sisi-sisi ketegasan dalam agama yang universal ini. Bahkan, tak sedikit yang mendasarkan itu pada hadits-hadits yang tidak jelas sumbernya untuk menguatkan pandangan mereka bahwa Nabi adalah sosok yang lembut dan penyayang pada siapapun, termasuk pada Yahudi dan Nasrani.
Namun demikian, tema ini tetap perlu dibicarakan karena ia menyangkut persepsi kita tentang Islam yang kita banggakan dan sosok Nabi yang kita cintai. Kita coba bahas seobjektif mungkin, jauh dari tendensius terhadap lembaga dan sosok manapun, dengan menyajikan argumentasi yang kita nilai layak menjadi pertimbangan. Setelah itu, siapa yang puas (iqna’) dengan argumentasi tersebut silahkan pakai, dan siapa yang tidak puas ia berhak untuk menolaknya. كل امرئ حجيج نفسه
Sejujurnya, yang membuat saya tergerak untuk menulis ini adalah sebuah tulisan yang memaparkan bahwa ungkapan yang merendahkan seseorang (secara khusus tulisan itu menyebut ungkapan HRS terhadap NM) bisa dipahami dan layak diberi uzur (dibenarkan) karena sahabat Nabi sendiri, Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه pernah melontarkan kata-kata ‘jorok’ kepada Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, dan itu diucapkan di hadapan Rasulullah ﷺ dan Rasul hanya diam. Ini artinya Rasul membolehkan hal itu, atau yang disebut dengan taqrir.
Ungkapan yang dimaksud adalah perkataan Abu Bakar terhadap Urwah bin Mas’ud: امصص ببظر اللات
Kata ‘bazhr’ artinya kemaluan wanita. Tapi dalam kalimat ini digunakan untuk al-Lat; sembahan kaum musyrikin. Kalimat ini memang sangat kotor, dan itu diucapka sosok yang terkenal dengan kelemah-lembutannya; Abu Bakar ash-Shiddiq. Berarti tak salah kalau ada tokoh yang mengeluarkan kata-kata kotor, apalagi terhadap seorang pelaku maksiat, berdasarkan perkataan Abu Bakar ini.
Dalam pandangan saya, ini sesuatu yang fatal. Ketika satu riwayat yang terkait dengan kondisi tertentu dan memiliki latarbelakang tertentu (Hudaibiyyah) dijadikan sebagai dalil dan pembenaran untuk sesuatu yang tidak baik.
Abu Bakar ash-Shiddiq mengucapkan hal itu dalam situasi dan kondisi dimana antara kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy terjadi peperangan. Abu Bakar sangat emosi mendengar ucapan Urwah bin Mas’ud yang menuduh para sahabat orang-orang rendahan dan hina yang akan meninggalkan Nabi sendirian berperang.
Di samping itu, hal seperti ini disebut dengan waqi’atu ‘ain atau kasuistik yang statusnya tidak bisa digeneralisir (لا عموم له). Bagaimana mungkin sesuatu yang bersifat kasuistik dan punya latar belakang yang berbeda dengan kasus HRS dijadikan sebagai dalil untuk membenarkan sebuah kesalahan?