REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usai kaum Muslimin menaklukkan dan merebut kembali Makkah, Nabi Muhammad SAW melakukan penaklukkan dengan kedamaian. Salah satunya adalah sikap kebijaksanaan beliau dalam mengampuni orang-orang Makkah yang dijatuhi hukuman mati.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal dijelaskan, sesudah memasuki Makkah Rasulullah mengeluarkan perintah untuk jangan ada pertumpahan darah. Rasulullah juga berpesan bahwa dalam menaklukkan Makkah, jangan sampai ada satu pun yang terbunuh dari kedua belah pihak.
Setelah kemenangan berhasil direbut Islam dan kondisi Makkah telah kondusif, Rasulullah mengampuni para musuh Islam yang tertangkap. Beberapa sahabat bahkan mendatangi Rasulullah untuk menjadi penjamin. Misalnya sebagaimana yang dilakukan Sayyidina Ustman bin Affan.
Sayyidina Utsman yang memiliki saudara sepersusuan dengan Abdullah bin Abi Sarh itu datang kepada Nabi. Dia memintakan agar Abdullah sepupunya diampuni, Sayyidina Utsman pun bersedia menjadi penjamin bagi saudaranya itu. Kemudian, Nabi pun mengampuni Abdullah dari hukuman mati.
Lalu sahabat wanita bernama Ummu Hakim binti Haris bin Hisyam yang memintakan pengampunan bagi suaminya, Ikrima bin Abu Jahal. Ikrima yang lari ke Yaman kemudian disusul oleh Ummu Hakim dan dibawanya kepada Nabi dan ia pun diampuni.
Lalu istri Abu Sofyan yang mengunyah jantung Hamzah dalam Perang Uhud pun juga tak luput dari pemberian pengampunan Nabi. Hampir semuanya dimaafkan dan diterima serta diperlakukan sebagaimana layaknya. Hanya empat orang saja yang benar-benar dijatuhi hukuman mati, yaitu salah satunya Huwairith yang mengganggu Zainab putri Nabi sepulangnya dari Makkah ke Madinah.