REPUBLIKA.CO.ID, Embargo ekonomi secara menyeluruh menjadi hal yang menakutkan bagi orang-orang di sebuah komunitas atau wilayah. Hal ini pun menjadi yang dirasakan oleh umat Islam dahulu, saat awal menjadi Muslim di Makkah, Arab Saudi atau antara tahun ketujuh dan kesepuluh dakwah Nabi Muhammad SAW.
Umat Islam saat itu menjadi sasaran pengepungan dalam hal ekonomi dan sosial secara penuh oleh kaum Quraisy. Boikot yang dilakukan memaksa mereka untuk meninggalkan rumah dan menetap di area sekitar lembah perbukitan Makkah yang sempit.
Hal tersebut dilakukan oleh kaum Quraisy karena orang-orang yang menjadi Muslim memilih meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dilansir About Islam istilah boikot, yang ditulis dan digantung di dalam Ka'bah oleh kaum Quraisy, termasuk embargo ekonomi total. Embargo sosial berarti mereka tidak akan menikah atau berinteraksi dengan pendukung Nabi Muhammad SAW.
Abu Thalib bereaksi dengan bijak atas pakta yang tidak adil dan agresif ini. Ia mundur ke sebuah area lembah di pinggiran Makkah yang disebut Syi'b Abi Thalib. Bani Hasyim dan Bani Abdel Muthalib, Muslim dan non-Muslim, semuanya bergabung dengan pemimpin mereka di lembah itu. Satu-satunya pengecualian adalah paman Nabi Muhammad SAW lainnya, yaitu Abu Lahab. Embargo kejam ini berlangsung selama kurang lebih tiga tahun.
Persediaan makanan untuk Nabi Muhammad SAW dan pendukungnya hanya dikirim oleh beberapa non-Muslim di Makkah yang merasa kasihan pada mereka. Ini termasuk dari Hakeem ibn Khuzam, keponakan Khadijah, dan Al-Mot'am ibn 'Adi.
Setiap beberapa minggu sekali, mereka diam-diam mengirimi Nabi Muhammad SAW dan Muslim yang mengikutinya perbekalan dengan unta. Namun, itu sangat tidak memadai sehingga umat Islam saat itu seringkali memakan daun karena kelaparan.
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya bahkan akan mengikatkan batu di perut untuk menghilangkan rasa lapar mereka. Kesehatan orang-orang Muslim saat itu memburuk dan tubuh mereka melemah setiap hari. Bertahan dalam kondisi seperti itu hampir tidak mungkin. Namun, selalu ada cahaya di ujung terowongan.
Kaum Muslim berada di wilayah lembah bersama Abu Thalib dan bertahan selama hampir tiga tahun dalam kondisi seperti itu. Nabi Muhammad SAW tidak menyerah. Terlepas dari situasinya, ia pergi menemui delegasi yang datang dari berbagai bagian Arab untuk ziarah atau bisnis, kemudian akan mengajak mereka untuk masuk Islam.
Ketika keadaan memburuk dan kesehatan umat Islam sangat memburuk, Nabi Muhammad SAW berdoa untuk dapat melawan para penyerang. Setelah itulah, Makkah mengalami musim kekeringan yang parah
Banyak orang di sana merasa bahwa ini adalah hukuman ilahi atas embargo kejam mereka. Kemudian, di bulan Muharram tahun kesepuluh, lima umat non-Muslim di Makkah yang menentang embargo berkumpul. Mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk membantu mengakhiri pengepungan.
Mereka mendatangi Abu Jahl di tempat pertemuan mereka di dekat Ka'bah. Satu per satu dan secara terbuka menyuarakan penentangan mereka terhadap boikot. Dukungan publik kemudian terhadap boikot mulai bergeser.
Pada saat yang sama, Nabi Muhammad SAW memberi tahu sang paman Abu Thalib bahwa Malaikat Jibril memberitahunya bahwa semut telah memakan perjanjian yang terkunci dalam Ka’bah. Percaya bahwa keponakannya tidak akan pernah berbohong, Abu Thalib menantang para pemimpin Mekkah untuk memeriksa apakah ini benar. Ia memberi tahu mereka jika membuka Ka'bah dan menemukan perjanjian utuh, maka ia akan menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka.
Tetapi jika itu benar, mereka harus mengakhiri boikot. Mereka setuju dan membuka Ka'bah untuk memverifikasi cerita tersebut. Dari sana, ditemukan bahwa seluruh perjanjian itu ternyata telah dimakan oleh semut.
Jadi boikot pun dinyatakan berakhir dan kaum Muslim kembali ke rumah mereka di Mekah. Setelah cobaan yang panjang dan menantang ini, beberapa kembali dengan kesehatan yang sangat buruk. Termasuk istri Nabi, Khadijah dan pamannya, Abu Thalib, yang saat itu berusia sekitar 80 tahun. Mereka berdua meninggal tak lama setelah pengepungan berakhir.