REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika Ibrahim anak Nabi dari istrinya yang bernama Maria Al-Qibtiyah meninggal, terjadilah gerhana matahari yang disaksikan oleh seluruh masyarakat Arab kala itu. Tak sedikit dari mereka bahkan yang mengaitkan gerhana matahari sebagai pertanda kematian.
Pakar Ilmu Alquran KH Ahsin Sakho menjelaskan, fenomena gerhana matahari yang bertepatan dengan hari kematian Ibrahim sempat dimaknai oleh hal-hal yang tidak rasional oleh masyarakat kala itu. Seolah-olah atas kematian anak Nabi tersebut, alam pun ikut berduka dengan hadirnya gerhana matahari.
“Akhirnya orang-orang mengaitkan gerhana matahari itu dengan kematian putra Nabi,” kata KH Ahsin dalam kajian live streaming, di Ahsin Sakho Center, Ahad (15/11).
Karena menyaksikan bagaimana masyarakat kala itu mengaitkan fenomena alam dengan kematian anaknya, kata beliau, Nabi pun bersabda: “Inna as-syamsya wal-qamara aayataani min aayaatillahi. La yakhsyifani li mauti ahadin wa laa li hayatih. Fa idza ra-aitumuu huma fad-u illaha wa shallu,”.
Yang artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Tidaklah matahari dan bulan itu berkaitan dengan kematian ataupun kehidupan seseorang. Jika kalian menyaksikan kedua gerhana itu, maka sebutlah nama Allah dan dirikanlah shalat,”.
Beliau menjelaskan bagaimana hebatnya Nabi mengambil-alih perhatian masyarakat terhadap hal-hal yang dapat menjerumuskan mereka kepada hal yang tidak-tidak. Dengan mengatakan bahwa kedua benda langit itu memiliki siklusnya tersendiri, maka gerhana pun terjadi. Maka umat Islam apabila menyaksikan fenomena alam tersebut pun dianjurkan untuk mendirikan shalat.
“Jadi kata Nabi itu, kalau kamu lihat gerhana, tandanya apa? Tandanya kamu harus sholat. Dirikan sholat,” ujarnya.