Senin 09 Nov 2020 19:54 WIB

Talak Sebelum Dukhul, Al-Baqarah Ayat 236-237 (1)

Ayat ini membicarakan tentang perceraian terhadap istri yang belum digauli.

Talak Sebelum Dukhul, Al-Baqarah Ayat 236-237 (1) . Perceraian/ilustrasi
Foto:

Hal ini menjelaskan bahwa mahar itu tidak termasuk rukun nikah, karena rukun itu adalah sesuatu yang tergantung kepadanya sah suatu perbuatan dan dia merupakan bagian dari padanya. Selain itu, mahar diungkapkan pada ayat 237 yang berbunyi وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً  yang artinya “sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya”.

Ini untuk menjelaskan bahwa mahar itu merupakan kewajiban suami yang harus diberikannya kepada istrinya. Ulama fikih sepakat tentang wajibnya ini.

Mereka juga sepakat mahar tidak termasuk rukun dan tidak pula syarat nikah. Kemudian  di dalam Q.S. al-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً yang artinya “Berikanlah mahar kepada wanita – yang kamu nikahi – sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ditegaskan bahwa mahar itu adalah pemberian wajib yang besar kecilnya ditetapkan atas kesepakatan kedua belah pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan penuh kerelaan dan keikhlasan.

Ayat ini memberikan pencerahan dan pemahaman terhadap orang yang beranggapan bahwa pemberian mahar dari suami kepada istri sebagai suatu cara untuk menunjukkan kedigdayaan pria dihadapan wanita. Malah ada yang beranggapan bahwa mahar itu seakan sebagai alat transaksi jual beli (Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft KHI (Jakarta: t.p. 2004) hal 18 dan 34).

Paham seperti ini sebetulnya adalah paham yang dianut oleh berbagai kalangan sebelum datangnya Islam, yakni di masa wanita masih dianggap sebagai hak milik laki-laki, apakah itu ayah, saudara laki-laki, atau suaminya. Ketika itu mahar bukan menjadi hak milik perempuan yang dinikahi, tetapi menjadi hak milik ayah atau walinya.

Islam datang mengangkat derajat kaum wanita, di antaranya adalah dengan menjadikan mahar sebagai haknya, bukan harga jual dirinya yang akan diambil oleh ayah atau walinya. Dari penjelasan Q.S. al-Nisa’ ayat 4 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mahar itu adalah kewajiban suami, berupa pemberian sebagai bukti cinta dan kesungguhan hati untuk istri yang dinikahinya, sebagai hadiah yang diberikan dengan keikhlasan dan sukarela, tanpa menuntut imbalan.

Dengan demikian, sungguh tidak pantas di kalangan umat Islam yang menentukan harga mahar tinggi dan memaksakan harus jumlah tertentu yang memberatkan suami. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً

"Sesungguhnya perkawinan yang besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya." (H.R. Ahmad)

Dalam riwayat lain dikemukakan:

يُمْنُ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرُ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرُ صَدَاقِهَا

"Wanita yang berkah adalah yang memudahkan dalam khitbahnya, dan meringankan maharnya." (H.R. Ahmad) 

Bersambung

-----

Tafsir  Tahliliy  ini  disusun  oleh  Majelis  Tarjih  dan  Tajdid  Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr. Isnawati Rais, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

 

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/10/17/talak-sebelum-dukhul-1-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-236-237/

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement