REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah telah ditempa agar senantiasa bergantung hanya kepada Allah. Rasulullah telah ditinggal wafat ayahnya saat masih berada dalam kandungan. Pada usia enam tahun, Rasulullah ditinggal wafat oleh ibunya sehingga rasul pun diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Pada usia delapan tahun, kakeknya juga meninggal dunia.
"Seakan takdir telah sedemikian rupa mengarahkan Muhammad untuk menjauh dari ketergantungan terhadap manusia dan hanya menyerahkan dirinya kepada Allah semata. Setiap kali ada tangan yang menjulur untuk menolongnya, tiba-tiba sang penolong itu pergi untuk selamanya. Demikianlah takdir membuat Muhammad selalu berada di bawah perlindungan langsung dari Allah dengan cahaya tauhid dan keesaan-Nya. Sejak belia, Muhammad terus ditempa untuk berucap hasbiyallah, cukup Allah saja bagiku, secara lahir dan batin. Sebab penting baginya untuk kehilangan arti dari semua penolong selain Allah. Dan ternyata memang itulah yang terjadi pada kehidupan Muhammad," terang cendikiawan Muslim asal Turki, Muhammad Fethullah Gulen dalam bukunya Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan Umat Manusia.
Rasulullah dilahirkan dari seorang ayah bernama Abdullah dan ibu bernama Aminah. Ini merupakan takdir yang telah digariskan, Gulen menjelaskan arti nama dari ibu Rasulullah mengandung arti aman (al amn) dan amanah (al amanah). Sementara nama ayah Rasulullah mengandung arti penghambaan diri (al ubudiyyah) kepada Allah.
Fakta ini menunjukkan bahwa jauh sejak sebelum kelahirannya, Rasulullah telah disipakan Allah. Sebelum diangkat menjadi rasul, sang al amin (yang terpercaya) harus hidup di dalam atmosfer ubudiyyah atau penghambaan diri kepada Allah.
Rasulullah tumbuh besar sebagai seorang yatim. Padahal di depannya telah menanti tanggung jawab amat berat dan penting sehingga pribadi Rasulullah memang harus disiapkan sejak dini. Rasulullah telah dibentuk menjadi pribadi yang berhasil mencapai puncak tawakal kepada Allah dan siap menyongsong semua aral yang melintang. Allah benar-benar membentuk Rasulullah menjadi sosok yang lurus yang berada di garis tengah kehidupan, jauh dari sikap berlebihan dan meremehkan.
"Amatlah penting bagi seorang pemimpin untuk mampu melewati masa-masa sulit. Seseorang yang memahami arti hidup sebagai anak yatim, pasti akan mengetahui cara untuk menjadi ayah yang penyayang bagi umatnya. Seorang pemimpin juga harus pernah merasakan pahitnya kemiskinan agar ia mampu merasakan getirnya kehidupan rakyat jelata yang dipimpinnya," jelas Gulen.