REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nikah siri (nikah tanpa catatan hukum negara) perlu dibahas tak hanya meliputi syarat dan rukun akad nikahnya semata. Lebih dari itu, nikah siri dalam fikih banyak dibahas mengenai aspek yang melingkupinya, terutama soal mudharat dan dampaknya bagi perempuan dan keturunannya.
Dalam buku Nikah Siri karya Vivi Kurniawati dijelaskan, akibat tidak tercatatnya pernikahan dalam hukum negara, maka baik istri maupun anak-anaknya nanti tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari suami. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan hidup bersama di luar perkawinan.
Dan hal itu sangat merugikan bagi para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih jika sudah memiliki keturunan atau anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tersebut. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang nikah siri adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Artinya, mereka berdua (anak dan istri) tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya.
Tentu saja kerugian ini harus menjadi perhatian besar umat Islam. Wakil Ketua Bidang Waqi’iyah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Faiz Syukron Ma’mun berpendapat, nikah siri menurutnya haram. Sebab tidak ada catatan hukum dan juga perlindungan bagi anak dan istri yang dinikahi. Di mana tindakan itu hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar.
Sehingga beliau pun menganjurkan bagi umat Islam, terutama perempuan, untuk melakukan pernikahan secara sah di mata hukum Islam maupun hukum negara. Sebab perlindungan kepada pernikahan, diri, dan juga keturunan merupakan anjuran yang sangat ditekankan dalam Islam.