Selasa 20 Oct 2020 23:59 WIB

Tuduhan Orientalis atas Hadits Nabi dan Jawaban Sederhana

Orientalis Barat menyampaikan tuduhan miring terhadap hadits Nabi SAW.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Orientalis Barat menyampaikan tuduhan miring terhadap hadits Nabi SAW.Ilustrasi Ahli Hadits
Foto: MGROL100
Orientalis Barat menyampaikan tuduhan miring terhadap hadits Nabi SAW.Ilustrasi Ahli Hadits

REPUBLIKA.CO.ID, Sikap ilmiah yang mendasari studi hadits dalam abad modern mendapatkan serangan dari Barat, khususnya kalangan orientalis. 

Jonathan Brown dalam bukunya, Hadith Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (2009) menyebut, salah seorang orientalis yang paling tajam menyuarakan keraguan autentisitas hadits adalah William Muir (meninggal 1905). 

Baca Juga

Bagi Muir, hadits bukanlah perkataan atau rekaman perbuatan Nabi Muhammad SAW, melainkan cerminan ambisi dari generasi-generasi Muslim tertentu sesudah wafatnya Nabi. Sebagai informasi, Muir sendiri bekerja sebagai peneliti dan staf kolonial Inggris di India.

Dengan lantang, lanjut Brown, Muir mengajak para orientalis Eropa menolak sedikitnya setengah dari isi Shahih Bukhari. Muir juga menilai, studi hadits yang dimulai dari generasi tabiin tidak berguna sama sekali lantaran hanya berfokus pada sanad, alih-alih kandungan teks hadits itu sendiri.

Nada kecaman Muir ini diteruskan oleh orientalis berikutnya yang kelahiran Hungaria, Ignaz Goldziher (meninggal 1921). Sebagaimana sejarawan mazhab Jerman, Goldziher, mengkaji sejarah klasik Islam dengan pendekatan skeptis.

Goldziher lantas menyebut posisi hadits lemah. Sebab, lanjut dia, tidak ada dokumentasi tertulis mengenai kehidupan Nabi Muhammad dalam masa hidupnya. Selain itu, hadits lebih mengandalkan tradisi lisan sehingga diragukan autentisitasnya.

Lebih lanjut, Goldziher bahkan mengatakan, hadits bukan memuat perkataan atau perbuatan Nabi SAW, melainkan hanya cerminan aspirasi dari suatu masyarakat Muslim dalam zaman tertentu.

Kalangan orientalis bahkan menuduh salah seorang sahabat Nabi SAW, Abu Hurairah, hanya membuat-buat teks sehingga dinamakan hadits. Dengan begitu, orientalis ini memandang hadits utamanya berperan sebagai alat manipulasi politik oleh sekelompok Muslim.

Bagaimanapun, Brown menilai kritis skeptisme para orientalis abad ke-20 itu. Menurut Brown, Goldziher sendiri bersikap manipulatif terhadap klaim-klaimnya sendiri. Karena itu, mudah bagi para orientalis demikian untuk salah mengartikan bukti-bukti historis penting mengenai sejarah penghimpunan hadits.

Pandangan skeptis buta Goldziher seakan-akan menuduh ahli hadits cenderung berani berbohong atas nama Nabi Muhammad SAW demi kepentingan patron politik mereka. Yang luput dari kajian para orientalis demikian adalah pemilahan para perawi yang kompeten daripada yang nirkompeten, bahkan sekadar tukang cerita.

Para pembelajar hadits yang amat tekun, khususnya penulis Shahihan, yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim, tentu saja tidak pernah menerima perawi nirkompeten atau tukang cerita. Poin perbedaannya pada kepercayaan (trust). Para ilmuwan terkemuka Muslim itu memandang para sahabat, tabiin, dan tabiin-tabiin sebagai sosok yang pantang berdusta.

Sementara, kaum orientalis leluasa menuduh mereka rela menukar informasi dari Rasulullah SAW hanya demi kepentingan politik. Semestinya ilmuwan Barat itu mempelajari studi hadits secara jujur dan terbuka, alih-alih tendensius. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement