Antony Black dalam Pemikiran Politik Islam menjelaskan, Akbar dan pemerintahannya memperlihatkan kemampuan yang luar biasa untuk mengadopsi dan menciptakan gagasan-gagasan baru.
Target mereka adalah menjadikan Muslim dan Hindu, Sunni dan Syiah sebuah komunitas politik tunggal. Mereka memberikan toleransi agama dan persamaan status kepada berbagai ajaran yang berbeda.
Pada saat masa Kerajaan Mughal, mayoritas rakyat Mughal memeluk Hindu. Di bawah Dinasti Mughal, sebagaimana di bawah rezim-rezim Islam, komunitas agama monoteis memiliki undang-undang sendiri dalam persoalan sipil seperti pernikahan. Hukum pidana berlaku sama untuk semua orang.
Kebijakan Akbar tentang toleransi bergama berkembang lebih jauh melampaui versi Islam yang sangat liberal, yang pernah diusulkan oleh Babur. Akbar mencabut beberapa aspek seputar hak-hak Islam yang bersifat diskrimintaif terhadap agama-agama lain.
Ia melarang konversi ke dalam Islam secara paksa. Setelah melakukan suatu pemeriksaan (1578) terhadap hibah-tanah untuk yayasan agama, Akbar menarik kembali sejumlah hibah yang diberikan kepada lembaga-lembaga Islam yang dianggap tidak sah.
Ia juga menghapuskan pajak untuk orang kafir dzimmi yang diskrmintasif. Akbar mengakhiri tradisi agama yang telah lama berjalan yang mempertahankan hak-hak istimewa umat Islam.
Selanjutnya kerajaan Mughal dipimpin Jahangir (1605-1627) dan Syah Janan (1628-1658). Pelaksanaan hukum Islam secara lebih ketat diterapkan pada masa kekuasaan Syah Janan yang bergelar pilar Syariat. Ia melarang pembangunan tempat-tempat ibadah non-Islam.
Ia memulai jihad melawan para pemimpin Hindu dan memperluas Kerajaan Mughal hingga India Selatan. Ia memperkenalkan kembali ortodoksi Sunni ke masayarat dan berupaya membagun satu sistem hukum yang bersatu berdasarkan Mazhab Hanafi. Dan ia juga mulai memberlakukan pajak bagi penduduk non-Muslim.