REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Siradjuddin Abbas
Ilmu tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu tauhid (ushuluddin), ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya.
Ilmu fiqih bertugas membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid takluk kepada i’tiqad, fiqih takluk kepada ibadah, dan tasawuf takluk kepada akhlak.
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (ushuluddin), supaya beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan. Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut: Pada suatu hari kami (Umar bin Khathab dan para sahabat) duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah SAW.
Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."
Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."
Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."
Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadhar baik dan buruknya."
Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."
Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihatmu."
Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang As-Sa’ah (azab kiamat)."
Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya."
Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan tuannya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat."
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?"
Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui."
Rasulullah SAW lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syariat lahir. Umpamanya shalat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dan lainnya.
Tentang iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (ushuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah/kepercayaan). Umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari kebangkitan, surga, neraka, qadha dan qadhar (takdir).
Tentang ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasawuf. Sasarannya akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana takhalli, tahalli dan tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui tiga unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari. Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jamaah, manhaj, metode atau jalan. Waspadalah jika jamaah yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena akan memungkinkan ketidaksempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi dan bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya. Andaikata ada kelihatan orang-orang tasawuf yang menyalahi syariat, umpamanya ia tidak shalat, tidak shalat Jumat ke masjid atau shalat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.
Imam Abu Yazid Al-Busthami berkata, "Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syariat."
Syekh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili berujar, "Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Alquran dan hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Alquran dan hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Alquran dan hadits."
Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketakwaan kita.
Mulai sebagai Muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan. Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang saleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah SAW. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya Al-Abbas, kedua definisi ini tidak tepat. Ia mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, "shafahu Allah", yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Allah SWT berfirman: "...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki.." (QS An-Nuur: 21)
"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." (QS Shaad: 46)
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad: 47)